MATA KULIAH FIQIH MUAMALAH
MEMAHAMI KONSEP PERDAGANGAN
ATAU JUAL BELI
Oleh:
TISYA
PERDANA N.K
SITI
MUTMAINNAH
DELYANANDA
ARISKA PUTRI
EKONOMI
SYARI’AH 1C
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2014/2015
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, taufiq dan inayahNya kepada kita semua. Shalawat
beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita yakni
Sayyidina Muhammad SAW serta keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai hari
kiamat.
Rasa terima kasih Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
Kami, baik berupa saran, masukan dan dorongan dan terkhusus kepada dosen pembimbing
: Bapak M. Novi Rifa’i, M.A sehingga
Kami dapat menyelesaikan makalah ini walaupun dalam bentuk sederhana.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan (tiada
gading yang tak retak). Sebab itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat
Kami harapkan demi kesempurnaan makalah fiqih muamalah ini untuk masa
mendatang.
Akhirnya dengan harapan serta do’a, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi segala kalangan, amin.
Malang,
September 2014
Penyusun
Dalam agama Islam muamalah merupakan bagian yang
mengatur tentang hubungan antara sesama manusia (hablu minannas). Hukum
asal dalam bermuamalah adalah “segala sesuatu diperbolehkan, kecuali yang
dilarang dalam Al-Qur’an dan Sunnah”. Sehingga banyak sekali bidang yang
tercakup dalam muamalah.
ماَ أَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا
حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوْا مِنَ
اللهِ عَافِيَتَهُ، فَإِنَّ اللهَ لمَ ْيَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا. (رواه الحاكم)
Artinya:
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah
halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah
diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya,
sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apapun".[1] (HR. al-Hakim)
Praktik yang paling nyata terkait dengan ini adalah
kegiatan jual beli atau bisnis. Bisnis, meskipun bertujuan untuk mendapat
keuntungan akan tetapi harus tetap melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah
dan berorientasi untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dasar dari jual beli adalah
firman Allah surat al-baqoroh ayat 275
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا [2]
"Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba."
Dari dalil diatas maka diperlukan identifikasi
mengenai hal-hal apa saja yang dilarang, agar selanjutnya dapat dihindari.
Dimungkinkan juga dilakukan penambahan, penciptaan, pengembangan namun harus
melalui ijtihad berdasarkan aturan syariah.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“....mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba...” (al-Baqarah : 275)
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk
mencari keuntungan (laba). Jual beli barang merupakan transaksi paling kuat
dalam dunia perniagaan (bisnis), bahkan secara umum adalah bagian terpenting
dalam aktivitas usaha. Jika asal jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya
diantara bentuk jual beli ada pula yang diharamkan dan ada juga yang
diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi usahawan
muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut,
dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga
betul-betul mengerti persoalan.[3]
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa
hal yang berkaitan dengan masalah jual beli. Untuk pembahasan selengkapnya akan
diuraikan pada bab selanjutnya.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah Definisi Jual Beli?
2. Bagaimanakah Rukun dan Syarat Jual
Beli?
3. Bagimanakah Syarat Sah Ijab Qabul?
4. Bagaimanakah Macam-Macam Jual Beli?
5. Apakah yang Disebut Badan Perantara?
6. Apakah yang Disebut dengan Lelang
(Muzayadah)?
7. Bagaimanakah Sistematika Penjualan
Tanah.
Dalam makalah ini, penyusun bertujuan untuk mengetahui
:
1.
Bagaimanakah Definisi Jual Beli;
2.
Bagaimanakah Rukun dan Syarat Jual Beli;
3.
Bagaimanakah Macam-Macam Jual Beli; (Sah, Fasid dan Batil)
4. Berselisih
dalam Jual Beli
5.
Apakah yang Disebut Badan Perantara;
6.
Apakah yang disebut Dengan Lelang (Muzayadah);
7. Bagaimanakah
Sistematika Penjualan Tanah atau Status Buah-Buahan yang Rusak Setelah Dijual;
Perkataan
jual beli dalam bahasa Arab disebut al-Bai’ (البيع) yang merupakan bentuk masdar dari باع – يبيع –
بيعا yang artinya menjual.[4] Sedangkan
kata beli dalam bahasa arab dikenal dengan شراء yaitu masdar dari kata شرى – يشرى - شراء
namun pada umumnya kata بيع sudah mencakup keduanya, dengan demikian kata بيع berarti jual dan
sekaligus berarti membeli.
Maksudnya
adalah melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan atau
memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara
sukarela dan tidak bertentangan dengan syara’.
Sedangkan
Hasbi ash-Shiddeqy mendefinisikan jual (menjual sesuatu) adalah memilikkan pada
seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga) atas dasar
kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.
Dari
beberapa pengertian di atas, Abdul Mujieb merumuskan definisi al-Bai sebagai
pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan menerima
harta atau atas saling ridla, atau ijab dan qabul atas dua
jenis harta yang tidak berarti berderma, atau menukar harta dengan harta bukan
atas dasar tabarru.[5]
Dengan memahami beberapa arti di atas maka dapat
disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara:
1.
Pertukaran antar dua pihak atas dasar rela, dan
2.
Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar
yang diatur sah dalam lalu lintas perdagangan.
Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas
dasar rela ini dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar
tradisional). Sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut
dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan, yang dimaksud dengan
ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan
dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah
dan lain sebagainya.
2.2 Rukun dan Syarat Jual Beli
Perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum
yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari
pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan
hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.
Dalam
menentukan rukun jual beli ini, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah
dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan
qabul yang menunjukkan adanya tukar menukar atau yang serupa dengannya
dalam bentuk saling memberikan (at-Ta’ati).[6]
Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanya kerelaan kedua belah pihak
untuk berjual beli.
Sedangkan rukun jual beli menurut jumhur ulama
terdiri dari:
1. Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidani)
2. Adanya uang (harga) dan barang (ma’qud
alaih)
3. Adanya akad.
Di samping
harus memenuhi rukun-rukun tersebut di atas, dalam transaksi jual beli juga
harus memenuhi syarat-syarat yang sah antara lain yaitu:[7]
1.Tentang
pihak-pihak yang berakad, syarat-syaratnya:
a.
Para pihak (penjual dan pembeli) berakal.
Bagi setiap
orang yang hendak melakukan kegiatan tukar menukar sebagai penjual atau pembeli
hendaknya memiliki pikiran yang sehat. Dengan pikiran yang sehat dirinya dapat
menimbang kesesuaian antara permintaan dan penawaran yang dapat menghasilkan
persamaan pendapat. Maksud berakal disini yaitu dapat membedakan atau memilih
yang terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual
beli tersebut tidak sah.
b.
Atas kehendak sendiri.
Niat penuh
kerelaan yang ada bagi setiap pihak untuk melepaskan hak miliknya dan
memperoleh ganti hak milik orang lain harus diciptakan dalam kondisi suka sama
suka. Maksudnya adalah bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah
satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lainnya,
sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi
dengan adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini
ditegaskan dalam ayat:
c.
Bukan pemboros (mubazir)
Maksudnya
adalah bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli
tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, artinya ia tidak
dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut
kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam
pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تؤتؤا
السفهاء اموالكم التي جعل الله لكم فيما وارزقوهم فيها واكسهم وقولوالهم قولا
معروفا…[9]
2.Tentang
keadaan objek atau benda yang ditransaksikan, syarat-syaratnya adalah:[10]
a.
طهارة العين
(Suci barangnya)
Artinya
adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang
najis atau barang yang diharamkan, oleh syara’ barang yang diharamkan
itu seperti minuman keras dan kulit binatang yang belum disamak.
b.
الإنتفاع به
(dapat dimanfaatkan)
Maksudnya
adalah setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk
kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan
dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang lain, karena
termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yaitu menyia-nyiakan
harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat
relatif. Sebab, pada hakekatnya seluruh barang yang dijadikan objek jual beli
adalah barang yang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung
ataupun tidak. Sejalan dengan perkembangan zaman yang makin canggih, banyak
orang yang semula dikatakan tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat.
c.
ملكية العاقدله (milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya
adalah bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah
pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari
pemilik sah barang. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan
pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai
jual beli yang batal.
d.
القدرة على تسليمه (dapat diserahkan),
Maksudnya
adalah bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad
terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya
adalah pada saat yang telah ditentukan objek akad dapat diserahkan karena
memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan. Hal ini
dinyatakan dalam hadis:
ولاتشتروا
السمك فى الماء فإنه غرر[11]
e.
العلم به
(dapat diketahui barangnya),
Maksudnya
keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk,
takaran, sifat dan kualitas barang. Apabila dalam suatu transaksi keadaan
barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual beli tersebut
tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan (garar). Hal ini
sangat perlu untuk menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi
perikatan. Misalnya dari akad yang terjadi kemungkinan timbul kerugian di pihak
pembeli atau adanya cacat yang tersembunyi dari barang yang dibelinya.
f.
كون المبيع مقبوضا (barang yang ditransaksikan ada di tangan),
Maksudnya
bahwa objek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan penjualan atas
barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada
kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana
perjanjian.[12]
3.Tentang
sighat akad (ijab dan qabul)
ijab dan qabul merupakan bentuk
pernyataan (serah terima) dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam
hal ini Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab
dan qabul, yaitu:
a. Ijab
dan qabul harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya telah
mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang
diucapkan, sehingga ucapannya itu benar-benar merupakan pernyataan isi hatinya.
Dengan kata lain, ijab dan qabul harus keluar dari orang yang
cukup melakukan tindakan hukum.
b. Ijab
dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek akad.
c. Ijab
dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis,
apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau sekurang-kurangnya dalam
majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir.
Ijab dan
qabul.
Ijab dan qabul dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1) Secara
lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat
dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
2) Dengan
tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila
orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau orang yang berakad
salah satu dari keduanya tidak dapat bicara.
3) Dengan
isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang
berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.[13]
Mengingat
posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang paling asasi dalam akad adalah
adanya suka sama suka atau kerelaan. Sesuai dengan apa yang difirmankan oleh
Allah SWT.
ياأيها الذين
أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم…[14]
d. Menurut Ahmad Azhar
Basyir, adanya beberapa hal yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya
paksaan, adanya penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu
muslihat.
Suatu akad
jual beli dapat dikatakan mengandung unsur penipuan apabila penjual
menyembunyikan aib terhadap barang dagangannya agar tidak tampak seperti
sebenarnya, atau dengan maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih
besar. Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu: penipuan yang
dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang bersifat ucapan
dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang atau disebut dengan
penipuan yang bersifat perbuatan.
e. Kejujuran dan
kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang terpenting. Sehubungan dengan
ini, maka sikap yang mengeksploitasi orang lain dan menjahili atau membuat
pernyataan palsu merupakan perbuatan yang dilarang.[15]
Hadis Nabi SAW.
نهى رسول
الله صلى الله عليه و سلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر[16]
Hadis di
atas memberi pengertian bahwa segala bentuk jual beli yang mengandung unsur
adanya tipuan, maka hukumnya dilarang, karena dalam jual beli tersebut tidak
berterus terang tentang kondisi barang yang terkena cacat. Apabila penjual
mengetahui bahwa dalam barang dagangannya tersebut mengandung cacat, maka harus
menjelaskan sifat-sifat tersebut pada pembeli. Hadis Nabi SAW.
المسلم أخو المسلم ولا يحل لمسلم باع من أخيه بيعا فيه
عيب الا بينه له[17]
Selagi
manusia masih hidup dan bermasyarakat serta masih berhubungan dengan orang lain
akan selalu mengadakan transaksi jual beli dalam rangka memenuhi segala
kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia yang bermacam-macam, baik kecil
maupun besar, bersifat rutin maupun insidental, maka jual beli juga
bermacam-macam:
1.
Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a.
Jual beli yang sah
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh
syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik dengan orang yang
mengadakan transaksi, objek transaksi serta ijab dan qabul.
b.
Jual beli yang batal
Yaitu jual beli yang seluruh atau
salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli yang menurut
asalnya tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang
dilakukan oleh orang gila, anak kecil atau jual beli barang haram. Termasuk
jual beli yang batal ini, antara lain:
1. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Ada (Bai’ Ma’dum)
Bai’
ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada) yang didalamnya terdapat unsur
ketidakjelasan adalah bathil. Seperti menjual anak unta yang masih dalam
kandungan dan menjual buah yang masih dipohon (belum matang), karena Nabi SAW
melarang jual beli anak ternak yang masih dalam kandungan dan juga melarang
jual beli air susu yang masih diteteknya (bisa kelihatan besar, ternyata isinya
lemak) dan melarang pula jual beli buah yang masih dipohon (belum matang).
Contoh-contoh
lain jual beli yang tidak ada barangnya: Jual beli mutiara yang masih dalam
rumah kerangnya, jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya,
dan jual beli kitab sebelum mencetaknya. Semua jenis jual beli tersebut adalah
batal menurut Syafi’iyah dan Hanabilah; karena pada akad-akad tersebut
terkandung unsurketidakjelasan.
Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak).
Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak).
Taimiyah
(Hambali) dan Ibnu Qayim memperbolehkan jual beli ma’dum, apabila dapat
dipastikan akan ada, karena tidak disebutkan dalam nash jual beli seperti itu
dilarang, yang ada hanya jual beli gharar.
“tidak
ada sebab yang melarang jual beli yang tidak ada wujudnya/barangnya”
2. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Dapat Diserahkan Pada Pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim)
Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa sesungguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’juz at-tasliim ketika berakad, sekalipun harta/benda/barang tersebut adalah miliknya sendiri, seperti memperjualbelikan burung yang terbang dari pemiliknya. Walaupun bisa mendatangkan barang saat di majlis akad, tetap tidak dianggap boleh, karena ada unsure bathil.
Batalnya akad dapat pula terjadi apabila harga (barang pengganti) tidak dapat diserahkan; karena jika harga (barang pengganti) tersedia, maka barang jualan akan menjadi hak milik.
Dalil kebatilannya : karena Nabi SAW melarang jual beli Hashah (jual beli barang dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual belinya) jual beli Gharar (jual beli barang yang tidak diketahui rupa dan sifatnya). Dan itu menunjukan adanya ketidakpastian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri RA sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang ternak yang masih dalam kandungan hingga lahir, dan jual beli air susunya, dan melarang jual beli kambing hingga terbagi.
Ulama Hanafiah berpendapat walaupun penyerahannya langsung dalam majlis (tempat akad), tetap tidak diperbolehkan, karena ada unsur batil.
3. Jual Beli Hutang (Bai’ Dain)
Hutang
itu seperti barang pengganti (harga) barang yang diperjualbelikan, menunjukan
pinjaman, dan mahar sesudah maupun sebelum jima dengan istri. Sebagai pengganti
biaya atas keuntungan yang diperoleh, dan dianjurkan terdapat sanksi dan denda
yang merugikan, dan khulu’ dan tidak dapat dibantah.
Disyariatkannya
Jual Beli dengan hutang adakalanya pada waktu akad maupun nasi’ah (berhutang
terlebih dahulu)
Adapun
jual beli nasi’ah (pembayaranya bertempo) adalah jual beli kredit dengan kredit
atau hutang dengan hutang. Kala’(kredit) adalah yang pembayaranya diakhirkan,
hal ini dilarang dan bathil menurut ijma’, karena ada unsure riba, sebagaimana
hadist yang diriwayatkan Daruqutni dari Ibnu Umar : sesungguhnya Anbi SAW
melarang jual beli kredit dengan kredit. Dan pelarangan ini menunjukan fasidnya
sesuatu yang dilarang tadi (jual belinya) walaupun yang bertransaksi adalah
orang berhutang atau bukan orang yang berhutang.
Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang adalah seseorang berhutang kepada orang lain sebanyak 100 dinar, kemudian keduanya sepakat untuk menggantinya dengan 20 ritl (1 ritl kurang lebih 2564 gram) gula dari orang yang berhutang yang akan dibayar sebulan atau dua bulan kedepan, praktek ini disebut juga “merusak hutang dengan hutang” karena tanggungan penghutang yang awal telah rusak, diganti dengan tanggungan yang lain.
Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang adalah seseorang berhutang sebanyak 100 dinar, kemudian uang itu dihutang lagi dan oleh orang lain, digunakan untuk membeli 50 ritl beras, dan di bayarkan kepadanya pada bulan depan.
Jual beli yang pembayaranya tunai adalah sebagai berikut:
Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang adalah seseorang berhutang kepada orang lain sebanyak 100 dinar, kemudian keduanya sepakat untuk menggantinya dengan 20 ritl (1 ritl kurang lebih 2564 gram) gula dari orang yang berhutang yang akan dibayar sebulan atau dua bulan kedepan, praktek ini disebut juga “merusak hutang dengan hutang” karena tanggungan penghutang yang awal telah rusak, diganti dengan tanggungan yang lain.
Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang adalah seseorang berhutang sebanyak 100 dinar, kemudian uang itu dihutang lagi dan oleh orang lain, digunakan untuk membeli 50 ritl beras, dan di bayarkan kepadanya pada bulan depan.
Jual beli yang pembayaranya tunai adalah sebagai berikut:
1. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang : Jumhur fuqoha membolehkanya selain Dhohiriyah, karena penghalang keabsahan jual beli hutang degan hutang ini terletak pada lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, dan hal itu tidak dihajatkan pada jual beli hutang yang pembayarannya tunai ini, karena yang terkandung dalam tanggungan penghutang sudah diserahkan seluruhnya.
2. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang : tidak diperbolehkan menurut Hanafiyah dan Dhohiriyah, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, atau karena hutang yang diserahkan tidak jelas ukuranya, kecuali jika orang yang berhutang tadi dengan sendirinya mempunya haq sebagai seorang pedagang.
Syafi’iyah dan Hanabilah juga tidak membolehkanya, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang dan harta ribawi yang terdiri dari uang, makanan menurut Syafi’iyah haram di gunakan untuk dijual belikan antara sebagian dengan sebagian yang lain.
Malikiyah membolehkan Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang, dengan 8 syarat yang kemudian diringkas menjadi 2 syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Hendaknya tidak menunjukan kepada jual beli yang dilarang oleh syar’I seperti gharar atau riba dan yang lainya.
2.
Hendaknya memperkirakan hutangnya akan kembali
4. Jual Beli Gharar
Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) dan al khida’ (penipuan). Secara istilah adalah jual beli yang hukumnya terbatasi. Jadi bai gharar adalah jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang, atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud atau batasanya, disepakati pelarangnnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi SAW melarang jual beli Hashah dan jual beli gharar. (HR. Bukhari)
Dari Ibnu Mas’ud : sesungguhnya Nabi SAW berkata : janganlah kalian membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya itu gharar.
Sehingga
, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar
adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau
perjudian.
Gharar yang membatalkan aka adalah gharar wujud : yaitu setiap jual beli yang barangnya disangsikan akan keberadaanya (benar-benar ada atau tidak)
Gharar yang membatalkan aka adalah gharar wujud : yaitu setiap jual beli yang barangnya disangsikan akan keberadaanya (benar-benar ada atau tidak)
Nawawi
berkata “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari ushul syar’I.”
Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak
terhitung., kecuali dalam dua perkara Imam An-Nawawi menyatakan, apabila ringan
(sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang
keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada
pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang
tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian
juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan
sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual
beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat
dilepas darinya.
Jual
beli yang termasuk gharar berdasarkan hadist yang berbunyi “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli muhaqallah , mukhadarah ,
mulammassah ,munabazah , dan muzabanah ” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
5. Jual Beli Najas Dan Mutanajas
Para Ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual beli bagi khomer, babi, bangkai dan darah. Karena semuanya itu bukan termasuk maal. Sabda beliau SAW : sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-NYA mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan berhala.
Jumhur ulama (selain Hanafiah) juga mengikutkan anjing dalam pengharanman jual beli ini. Berdasarkan hadist Abu Mas’ud Al Anshory : Nabi SAW melarang menjadikan anjing sebagai tsaman.”
Jumhur
juga meniadakan akad jual beli barang yang terkena najis, yang tidak mungkin
dapat disucikan kembali, seperti minyak, madu dan samin yang didalamnya
terdapat najis, dan dibolehkan apabila barang itu dapat disucikan, seperti
kain.
Tidak
dibolehkan juga bagi jumhur jual beli barang yang pada asalnya najis seperti
pupuk (kotoran binatang) herbivora menurut Malikiyah. Sedangkan menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah yaitu kotoran (tinja) dan tulang bangkai beserta
kulitnya.
Malikiyah
membolehkan jual beli kotoran sapi, kambing, onta dan sejenisnya. untuk
keperluan menggarap tanah atau yang lainya yang termasuk mendatangkan manfaat.
6. Jual Beli Dengan Uang Muka (Bai’ Urbun/DP)
Uang muka adalah seseorang membeli sesuatu kemudian menyerahkan kepada penjual sebagian dari harga barang itu berupa dirham atau sejenisnya dengan catatan apabila jual beli itu dilanjutkan, uang muka diperhitungkan sebagai bagian dari keseluruhan harga, sedangkan apabila jual beli tidak dilanjutkan, uang muka tersebut diberikan kepada penjual, dengan kata lain, apabila transaksi jual beli berlanjut, uang muka sebagai bagian dari harga barang, sedangkan apabila transaksi jual beli tidak berlanjut, uang muka menjadi pemberian dari pembeli kepada penjual.
Hukum
jual beli dengan pembayaran uang muka (ba’i al-urbun) terdapat dua kelompok
yang saling bertentangan yaitu kelompok yang menyatakan tidak sah dan kelompok
yang menyatakan sah.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa jual beli dengan sistem panjar/uang muka adalah jual
beli yang terlarang dan tidak sah, ulama Hanafiah memasukkan dalam kategori
jual beli fasid, sedangkan Syafiiyah dan Malikiyah menghukumi jual beli batal
berdasarkan hadis Rasulullah saw. Sesungguhnya Nabi saw. melarang jual beli
urbun (sistem uang muka)
Jual beli macam ini juga termasuk jual beli gharar, terlarang dan termasuk makan harta orang lain secara bathil, selain itu dalam jual beli sistem ini mengandung dua syarat yang fasad yaitu syarat hibah (pemberian uang muka) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha
Jual beli macam ini juga termasuk jual beli gharar, terlarang dan termasuk makan harta orang lain secara bathil, selain itu dalam jual beli sistem ini mengandung dua syarat yang fasad yaitu syarat hibah (pemberian uang muka) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha
Ulama
hanabilah menghukumi jual beli dengan uang muka tidak apa-apa (boleh)
berdasarkan riwayat Abd al-Razaq dalam Mushanafnya dari hadis Zaid bin Aslam
bahwa Nabi saw. “ditanya tentang uang muka dan beliau menghalalkannya.”
Dan juga riwayat dari Nafi bin al-Harits pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah dengan empat ribu dirham, (dengan ketentuan) apabila Umar suka, barang yang dijual itu untuknya, apabila Umar tidak suka, empat ribu dirham itu untuk Shafwan
Dan juga riwayat dari Nafi bin al-Harits pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah dengan empat ribu dirham, (dengan ketentuan) apabila Umar suka, barang yang dijual itu untuknya, apabila Umar tidak suka, empat ribu dirham itu untuk Shafwan
7. Jual Beli Air (Bai’ Maa’)
Air ada kalanya mubah atau ghoiru mubah. Mubah adalah air yang dimiliki oleh seluruh manusia dan mereka mengambil manfaat darinya, seperti : air laut dan sungai-sungai umum. Sabda Nabi SAW “Muslimin itu berserikat dalam tiga : air, rerumputan dan api.”
Ghoiru mubah atau dimiliki adalah air yang termasuk dalam kepemilikan khusus, individu atau jama’ah. Dan air yang mengandung pengkhususan kepemilikan seperti penduduk suatu desa tertentu dan air yang dijaga di dalam bejana-bejana (dikemas).
Hukum menjual belikannya adalah boleh, kecuali dalam keadaan dhorurat (bahaya). Seperti : kehausan yang bisa menyebabkan kematian, maka wajib untuk memberinya air, apabila masih saja menghalanginya, maka sama saja ia membunuhnya.
Jumhur
membolehkan jual beli air yang ghoiru mubah, seperti : air sumur, mata air, dan
yang dikemas dll. Disejajarkan dengan kayu yang diperbolehkan oleh Rasulullah
SAW dalam memperjual belikannya.
Madzhab
Dhohiriyah tidak menghalalkan jual beli air secara mutlak, karena Nabi SAW
melarang jual beli air.
Larangan
menjualnya terjadi pula dalam keadaan khusus seperti : apabila jual beli air
ini diniatkan untuk menyuburkan rerumputan yang ada di sekitarnya (sumur)
dikarenakan penggembala akan membutuhkan air untuk gembalaanya.
c. Jual beli yang fasid
Ulama
Hanafiyah membedakan arti jual beli yang fasid dan jual beli yang batal.
Apabila dalam jual beli tersebut terkait dengan barang yang diperjualbelikan,
maka hukumnya batal, seperti jual beli barang-barang yang haram
diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang
dan bisa diperbaiki maka hukumnya jual beli fasid.[18]
Di samping beberapa bentuk jual beli
yang telah disebut di atas terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:
a. Jual beli yang
tidak sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syariat
Islam karena ada alasan-alasan tertentu seperti:
1)
Menyakiti kepada salah satu atau orang lain yang terlibat dalam jual beli
tertentu.
2)
Menyempitkan gerakan pasaran.
3)
Merusak ketentraman umum.
b. Jual beli yang sah
tapi dilarang, antara lain:
1)
Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si
pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya
orang lain tidak membeli barang tersebut.
2)
Membeli barang yang sudah dibeli oleh orang lain atau sudah ditawar oleh
orang lain yang masih dalam masa khiyar.
3) Membeli barang dari orang yang
datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan belum mengetahui harga yang
ada di pasar.
4)
Membeli
barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga
yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
5)
Jual beli dengan mengicuh atau menipu baik dari pihak penjual maupun si
pembeli.[19]
Sabda Nabi SAW:
نهي عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر[20]
2. Jual beli dilihat
dari segi harganya:
a.
Jual beli musawamah, yaitu menjual sesuatu dengan jalan tawar menawar.
b.
Jual beli tauliyah, yaitu menjual dengan harga modal artinya harga jual
dan harga beli sama.
c.
Jual beli murabahah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan mencari laba
yang diketahui.
d.
Jual beli wadi’ah, yaitu jual beli barang yang harga jualnya lebih
rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang tersebut.[21]
Cara membedakan fasid dan batil dapat dilihat
dari :
1) Apabila kerusakan berhubungan dengan, komoditi
(barang) berarti bai’nya bathil.
2) Apabila kerusakan berhubungan dengan harga berarti fasid .
2) Apabila kerusakan berhubungan dengan harga berarti fasid .
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli
hendaknya berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka
jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan duta menghilangkan
barokah jual beli. “Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat
menghilangkan berkah” (Bukhari Muslim)
Apabila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat
dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata
ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya.
“Apabila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka
yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalakan.” (HR. Abu
Dawud).[22]
Apabila terjadi perselisihan
antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, dan keduanya mempunyai bukti
atas pengakuan masing-masing, hendaklah mereka bersumpah. Demikian menurut
pendapat para imam madzab. Orang yang disumpah pertama kali adalah penjual.
Demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Sedangkan menurut
Hanafi: hendaknya yang pertama kali disumpah adalah pembeli.
Apabila barang
yang dibeli sudah rusak, lalu terjadi perselisihan soal harganya, keduanya
disumpah. Demikian menurut Syafi’i. Kemudian jual belinya dibatalkan. Jika
barang tersebut bisa dijual, hendaknya dibayar menurut harganya. Adapun jika
barang tersebut ada pada penjual, hendaknya diberi bandingannya itu oleh
pembeli. Demikian juga menurut salah satu riwayat Hambali dan Maliki. Sedangkan
pendapat Hanafi: jika barang sudah rusak, tidak perlu disumpah, dan perkataan
atau pengakuan yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli. Demikian juga menurut
pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya. Zufar dan Abu Tsawr
berpendapat: dalam keadaan demikian, yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli.
Syafi’i dan Ibn
Suraij berpendapat: yang dibenarkan adalah pengakuan si penjual. Perselisihan
yang terjadi antara ahli waris si penjual dan ahli waris si pembeli hukumnya
disamakan dengan ini.
Hanafi
berpendapat: jika barang yang dijual berada di tangan ahli waris si penjual,
keduanya bersumpah. Adapun jika sudah berada di tangan ahli waris si pembeli,
diterimalah pengakuanya dengan sumpah.
Jika yang
dijadikan perselisihan adalah masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka
waktunya, atau masalah syarat khiyar atau jangka waktunya, keduanya disumpah.
Demikian menurut Syafi’i dan Maliki. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hambali:
tidak ada sumpah dalam syarat-syarat ini, dan pengakuan yang diterima adalah
pengakuan yang meniadakan.
Apabila
seseorang menjual suatu barang dengan harga yang berada dalam tanggung jawab
pembeli, lalu mereka berselisih, kemudian penjual berkata: “Aku tidak akan
menyerahkan barang ini sebelum aku terima bayarannya.” Pembeli mengatakan: “Aku
belum mau membayar harga sebelum menerima barang.” Maka dalam hal ini Syafi’i
memiliki beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah penjual
dipaksa untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar harganya.
Pendapat lain, bahwa yang dipaksa adalah si pembeli. Menurut pendapat lain,
tidak ada paksaan. Adapun jika salah seorang menyerahkan, yang lain harus
dipaksa untuk membayar. Dalam hal ini, menurut pendapat Syafi’i, keduanya harus
dipaksa. Sedangkan Hanafi dan maliki berpendapat: pembeli harus dipaksa lebih
dahulu untuk membayar harganya.
Apabila barang
yang dijual telah rusak sebelum diterima oleh pembeli karena terkena bencana
alam, jual beli menjadi batal. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Menurut
pendapat Maliki dan Hambali: apabila barang yang dijual itu bukan berupa barang
yang ditakar atau ditimbang, maka dihitung menjadi tanggung jawab si pembeli.
Apabila barang
tersebut dirusak oleh orang lain, dalam hal ini Syafi’i mempunyai beberapa
pendapat, dan pendapat yang paling shahih: penjualan tidak batal, tetapi
pembeli diberi hak untuk memilih antara memaksa orang yang merusak barang
tersebut untuk membayar kepadanya atau membatalkan pembelian, lalu orang yang
merusak itu dipaksa untuk membayar harga kepada penjual. Seperti itu juga
pendapat Hanafi, Hambali, dan pendapat yang paling kuat dari madzab Maliki.
Apabila barang
dirusak oleh penjual sendiri, jual beli menjadi batal, seperti barang yang
terkena bencana alam. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Hambali
berpendapat: jual beli tidak batal, tetapi penjual harus mengembalikan
harganya, dan jika barang yang dirusak itu ada padanannya, hendaknya diberikan.
Apabila barang
yang dijual itu berupa buah-buahan yang masih di pohonnya, lalu rusak setelah
takhliyah [mengosongkan tempat yang dijual dari barang-barang si penjual dan
menyerahkan hak penguasaan kepada pembeli dengan, misalnya, menyerahkan kunci],
barang yang rusak itu menjadi tanggung jawab pembeli. Demikian menurut Hanafi
dan Syafi’i yang paling shahih. Menurut Maliki: jika barang yang rusak itu
kurang dari sepertiga, yang menanggung kerusakan adalah pembeli sendiri. Dan
jika lebih dari itu yang menanggung adalah penjual. Sedangkan pendapat Hambali:
jika rusaknya disebabkan oleh bencana alam, hal itu menjadi tanggung jawab
penjual. Adapun jika dirampas atau dicuri orang, hal itu menjadi tanggung jawab
pembeli.
Samsarah (simsar) adalah
perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli),
atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[23]
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar)
adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna
melancarkan transaksi jual beli.[24]
Dengan adanya perantara maka pihak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam
bertransaksi, baik transaksi berbentuk jasa atau berbentuk barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah
(makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain
dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar)
ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.[25]
Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang
memerlukan jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya
transaksi jual-beli dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad
kerja sama tersebut.
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi berpendapat
makelar bagi orang luar daerah dibolehkan, karena dapat melancarkan keluar
masuknya barang dari luar ke dalam daerah dengan perantaraan si makelar
tersebut dengan demikian mereka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah
pihak.[26]
Simsar adalah sebutan bagi orang yang
bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun
membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan
(menunjukkan) orang lain sebagai patrnernya sehingga pihak simsar tersebut
mendapat komisi dari orang yang menjadi parnernya.[27]
Al-simsar (jamak dari al-simsarah)
adalah perantara antara penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli, atau
pedagang perantara yang bertindak sebagai penengah antara penjual dan pembeli,
yang juga dikenal sebagai al-dallah. Al-simsar dari bahasa
arab, yang berarti juga tiga dalil yang baik, orang yang mahir. Pedagang sudah
disebut al-samasirah pada masa sebelum Islam tetapi Rasul menyebut
mereka al-tujjar. Pada masa sebelum Islam, perbedaan al-samsarah
(perdagangan perantara) biasanya terjadi pada orang kota dan orang yang tinggal
di gurun, hal ini dipraktekkan dalam semua aspek transaksi bisnis.[28]
Samsarah adalah kosakata bahasa Persia
yang telah diadopsi menjadi bahasa Arab yang bearti sebuah profesi dalam
menengahi dua kepentingan atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik
berupa upah (ujroh) atau bonus, komisi (ji'alah) dalam
menyelesaikan suatu transaksi. Adapun simsar adalah sebutan untuk orang yang
bekerja untuk orang lain sebagai penengah dengan kompensasi (upah atau bonus),
baik untuk menjual maupun membeli.[29]
Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi
al-Fath, dalam kitabnya, al-mutall, telah menyatakan definisi tentang
pemakelaran, yang dalam figh dikenal dengan Samsarah, atau dalal sebagai
sinonimnya, seraya menyatakan : "jika (seseorang) menunjukkan dalam
transaksi jual-beli, dikatakan ; dalalta dengan masdar yang difathahkan
dal-nya, dalalat(an), dikasrahkan dal-nya, dilalat(an), di dhammahkan dal-nya,
dulalat(an), jika anda menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang
tersebut adalah simsar atau dallal (makelar) antara keduanya (pembeli dan
penjual).[30]
Dari penjelasan diatas bisa kita
simpulkan bahwa samsarah (makelar) adalah penengah antara penjual dan pembeli
atau pemilik barang dengan pembeli untuk melancarkan sebuah transaksi dengan
imbalan upah (ujroh), bonus atau komisi (ji'alah).
Di masa sekarang banyak orang yang
disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga ada sebagian orang tidak
memiliki waktu untuk menjual barangnya atau mencari barang yang diperlukan.
Sebagian orang lagi mempunyai waktu luang, mempunyai keahlian untuk memasarkan
(menjualkan), namun tidak memiliki barang yang akan dijualkannya.
Untuk memudahkan kesulitan yang mereka
hadapi, saat ini ada orang yang berprofesi khusus menangani hal-hal yang
dikemukakan di atas, seperti biro jasa: di mana kedua belah pihak mendapat
keuntungan (manfaat). Biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa
dari hasil pekerjaannya, sedangkan orang yang memerlukan jasa mendapatkan
kemudahan, karena sudah di tangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Dalam hal ini pihak biro jasalah yang
bisa membantu dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh pemilik barang
tersebut, selain pemilik barang dapat menyelesaikan masalahnya pihak biro jasa
juga mendapat lowongan kerja sehingga pemilik barang dan biro jasa mendapat
keuntungan.
Pekerjaan samsarah / simsar
berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk
akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan
imbalan.[31]
Al-ijarah berasal dari
kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats
tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).[32]
Ijarah secara sederhana diartikan
dengan transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda di sebut ijarat
al-ain atau sewa–menyewa, seperti menyewa rumah untuk di tempati bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut
ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian.
Keduanya disebut dengan satu istilah dalam literatur Arab yaitu ijarah.[33]
Pemilik yang menyewa manfaat disebut mu'ajjir
(orang yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut musta'jir
(orang yang menyewa–penyewa). Dan, sesuatu yang diakadkan untuk di ambil
manfaatnya disebut ma'jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).
Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa
maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan mu'amalah yang telah
disyari'atkan dalam Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Islam.
Kebolehan praktek ijarah berdasarkan
kepada ayat-ayat al-Qur'an dan hadist Nabi SAW, Surat Ath-Thalaq : 6
ا
سكنو هن حيث سكنتم من و جد كم ولا تضا روهن لتضيقوا عليهن ٌ وان كن ا ولت حمل فا
نفقوا عليهن حتى يضعن حملهن ج فا ن ا ر ضعن لكم فا تو هن ا جو ر
هن وا تمروا بينكم بمعروف صلى وا ن تعا سر تم فستر ضع له اخرى
Artinya
:
"Tempatkanlah mereka (para
isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya."
Berdasarkan ayat di atas, maka menyewa
seseorang untuk meyusukan anak adalah boleh, karena faedah yang diambil dari
sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat
(jasa) dan yang lebih penting lagi adalah setelah perempuan memberikan manfaat
bagi anak yang disusunya, jangan sampai tidak diberi upah, karena upah
merupakan hak yang wajib ditunaikan setelah pekerjaan tersebut selesai
dilaksanakan.
Persoalan upah mengupah untuk sama-sama
mengambil manfaat dari suatu pekerjaan diperbolehkan, asalkan setelah pekerjaan
selesai dilakukan kemudian orang yang mengupah membayar imbalan yang setimpal.
Artinya kerja sama yang dilakukan dibolehkan selama saling menjunjung tinggi
amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Jadi pekerjaan samsarah dalam hal
ini berhak menerima imbalan setelah memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang
menggunakan jasa samsarah harus segera memberikan imbalan tidak boleh
menghanguskan atau menghilangkannya. Karena hal-hal seperti itu sangatlah
dibenci oleh Tuhan.
Surat Al-A'raf : 85
وا لى
مد ين اخا هم ثعيبا قلى قا ل يقوم ا عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره
صل قد جا ء تكم بينة من ربكم صل فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا
تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا تفسد وا فى الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم
ان كنتم مومنين
Artinya:
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada
penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang
takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Dan sesuai hadist Nabi :
ا عظو
الا جير اجره قبل ا ن يجف عر قه10
Artinya:
" Dari Ibnu umar bahwa
Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )
Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan
pernah menunda-nunda upah para pekerja, apabila mereka telah melakukan
pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah mereka pada waktunya karena Allah
paling benci bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm)
dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan
pekerjaannya dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang
sesuai dengan kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini
tidak benar, karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu
yang telah ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih
payah yang dilakukan oleh pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari
total upah pekerja.
B. Rukun dan
Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus
memenuhi beberapa rukun yaitu :
1.
Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)
Untuk
melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan
pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2.
Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)
Jenis
transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung
maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih
dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3.
Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran
tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka,
kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian)
yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Secara praktis, pemakelaran terealisasi
dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu
ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat
umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum
transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat.
Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal
bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya
sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall
al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek
transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma'lum). [34]
Dari penjelasan diatas bisa kita
simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah syarat-syarat umum
transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan shigat.
Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal
bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya
sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun hikmah adanya samsarah
adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi
kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli atau menjual barang
mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan orang lain yang
berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal penjualan dan
pembelian barang dengan syarat mereka akan memberi upah atau komisi kepada
makelar tersebut.
Seperti yang telah di uraikan di atas,
jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu perantara perdangagan antara
penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak mendapat upah (gaji) dan
berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak ada yang merasa
dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah sendiri maupun
dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah membayar upah para
pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja untuk perusahaan dengan
semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah adalah untuk mencegah
adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus
dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa tersebut, jangan hanya
semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak pemakai jasa harus
memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau kezaliman dalam pemenuhan hak
dan kewajiban di antara mereka.
C. Bentuk - Bentuk
Kerja Sama dalam Aqad Samsarah
Pada zaman modern ini, pengertian
perantara sudah lebih luas, termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak
hanya mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan
tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk
kerja sama dalam aqad samsarah itu ada dua, yaitu bentuk kerja
sama yang menjual barang dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama
dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang
atau benda disebut ijarat al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa
rumah untuk ditempati oleh pihak yang menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang
menjual jasa orang disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah,
seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara atau upah para pekerja di
perusahaan-perusahaan swasta.
Dengan demikian tidak akan terjadi
kemungkinan adanya penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan
haram. Apabila barang yang nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang
imbalanya dan ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah
ditandatangani, maka semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji,
sebagaimana firman Allah :
يا
يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد ...
Artinya:
"Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman :
ج وا
وفوا با لعهد كا ن مسولا ....
Artinya:
...
dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabanya ( Qs al- isra : 34 )
Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam
ayat tersebut adalah janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula
yang hanya dengan lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat
semata-mata. Hal itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri,
sekiranya terjadi pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di
akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum,
hukumnya boleh, berdasarkan hadist Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani :
خرج
علينارسول الله صلم علئ- ونحن نسمى السماسرة - فقال:
يامعشرالتجار: إن الشيطان والاشم يحضران البيع, فشو بوابيعكم بالصد قة.16
Artinya:
"
Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu kami, para pedagang biasa
di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai
Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri
jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).
Maksud dari hadits di atas adalah dimana
syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual
beli kalian dengan bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak
mengandung maksiat dan haram.
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi
al-Fath, dalam kitabnya, al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang
dalam istilah fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut,
seraya menyatakan: “Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa
disimpulkan bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain,
yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang
terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah
'ala samsarah tidak diperbolehkan.
Maksud dari uraian di atas adalah dimana
kedudukan seorang makelar adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang
makelar memakelari makelar atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah
yaitu makelar menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya
sebagai orang tengah.
C. Pembagian
Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang
disebut provisi; dalam praktek hal ini disebut courtage.[35]
Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka
barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak
timbul salah paham, begitu juga dengan imbalan jasa dan pembagian keuntungan
harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar.
Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan
(adat-istiadat), bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku
sebagaimana biasanya yaitu 2,5 % dari nilai transaksi. Ada juga yang berlaku
2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.
Kebiasaan semacam ini pun dapat
dibenarkan oleh syariat, sesuai kaidah hukum Islam.
العا دة محكمة
" Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."
Supaya tidak terjadi salah paham, maka
pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu
mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh
mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga
yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua
belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya
tidak ada yang berselisih paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat
sebuah perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang
mereka lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan. Sebagai landasan
hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :
أ
لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ
شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما19
Artinya:
"
Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan
syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
Maksud dari hadist di atas adalah kerja
sama antara sesama muslim itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di
halalkan , seperti menjual minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka
harus berpegang kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah
satunya obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus
diantisipasi kemungkinan barang rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan
siapa yang bertanggung jawab dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga
terhadap segala resiko lain yang mungkin terjadi.
Menurut Subekti, kata resiko berarti
kewajiban untuk memikul kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.[36]Sedangkan
menurut pendapat lainnya, resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika
terjadi keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang
menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur
memenuhi prestasi. Dengan demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari
suatu keadaan memaksa. Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :
a) Menurut
Pasal 1237 KUHPerdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas
tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka
semenjak saat kelalain, kebendaan adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur
mengenai resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan
dan perjanjian pinjam-pakai.
b) Menurut
Pasal 1460 KHUPerdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang
sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan
si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
jual-beli.
c) Menurut
Pasal 1545 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk
ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai
gugur, dan siapa yang pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut
kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur
mengenai resiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d) Menurut Pasal
1553 ayat (1) KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama
sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa
gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
sewa-menyewa.[37]
Jadi makelar (samsarah) adalah
hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa
menanggung resiko, dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang
terpecaya tidak di tuntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya
barang dengan tidak sengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak.
D. Pengertian Agen
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil,
perantara), suatu pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi
jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari
total hasil penjualannya.[38]
Berdasarkan penjelasan di atas agen
adalah orang yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli dengan
persentase komisi dari total hasil penjualan. Persentase komisi tersebut telah
disepakati oleh pihak agen dan pemilik barang, apakah persentase dari
total hasil penjualan atau komisi yang berbentuk lain.
Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah
wakil tetap, baik yang ditunjuk ataupun tidak dari suatu perseroan dagang yang
diberikan kuasa (penuh) untuk melakukan transaksi-transaksi atas nama perseroan
yang diwakilinya.[39]
Maksud dari penjelasan di atas adalah
wakil tetap yang ditunjuk maupun yang tidak ditunjuk langsung dari perusahaan,
yang memberikan kuasa penuh untuk melakukan transaksi jual-beli atas nama
perusahaan yang diwakilinya tersebut, dengan maksud transaksi yang mereka
lakukan akan berjalan lancar seperti yang diinginkan pihak perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
agen adalah orang atau perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan bagi
perusahaan lain atas nama pengusaha, perwakilan, kaki tangan atau mata-mata
negara asing, wakil pengusaha yang merundingkan, memberikan jasa layanan, atau
menutup perjanjian asuransi dengan ketentuan yang ada...[40]
Menurut Abdul Rasyid Saliman jasa
keagenan adalah usaha jasa perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis
tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak..[41]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
maka penulis menyimpulkan bahwa agen merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak
dari suatu perseroan dagang untuk melakukan transaksi jual-beli dengan imbalan
komisi sebesar persentase yang telah ditentukan dari total hasil penjualan yang
mereka lakukan.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya
diartikan sebagai suatu hubungan hukum, dimana pihak agen diberi kuasa
bertindak untuk dan atas nama pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi
bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya
suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dimiliki oleh agen yang bertindak
untuk dan atas nama prinsipal (pihak asing)..[42]
Dalam hal ini apabila agen bertindak
melampaui batas yang telah diberikan pihak principal, maka pihak
agen sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, apabila
tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang
disepakati maka pihak principal akan bertanggung jawab.
Dalam perjanjian bisnis, agen dan
principal biasanya membuat sebuah kontrak kerja tertulis yang isinya ditentukan
oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut. Isi dari kontrak
kerja diserahkan kepada para pihak asal tidak bertentangan dengan hukum dan
kesusilaan seperti yang tercantum dalam pasal 1388 KUHPerdata, yaitu pembayaran
yang dilakukan oleh seorang berutang kepada orang yang memberi utang, tak sah
seseorang perutang melakukan perlawanan apabila si pemberi utang melakukan
penyitaan karena itu hak si pemberi utang untuk memaksa dan menagihnya kembali.[43]
Adapun maksud dari Pasal 1388 adalah
suatu ketika pihak prinsipal melakukan penyitaan atau pencabutan barang
(tiket), maka pihak agen tidak boleh melakukan perlawanan karena hak prinsipal
untuk melakukan penyitaan.
Adakalanya prinsipal dan agen membuat
sebuah perjanjian sederhana yang memuat pokok-pokok saja seperti hak dan
kewajiban para pihak, tetapi tidak sedikit dari mereka yang membuat perjanjian
secara terperinci. Membuat perjanjian yang terperinci tidaklah mudah, tetapi
perjanjian yang terperinci tersebut akan memper kecil kemungkinan untuk salah
menafsirkan isi perjanjian.[44]
Intinya perjanjian terperinci memperkecil kemungkinan untuk salah
paham antara kedua belah pihak sangat kecil dan mencegah timbulnya kecurangan
yang akan merugikan salah satu pihak.
Dalam praktek perjanjian yang diadakan
kedua pihak ternyata terdapat 3 kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu :
1.
Dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak
untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya
persetujuan dari pihak lain.
Maksudnya
adalah baik pihak principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian
atau seluruh hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa persetujuan dari
pihak agen dan principal lainnya.
2.
Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak
ketiga, tetapi agen tidak boleh.
3.
Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak
ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan
kewajibannya apabila diperoleh persetujuan dari pihak prinsipal.[45]
Maksud dari variasi di atas adalah
prinsipal tersebut boleh mengalihkan hak dan kewajibannya pada pihak lain,
tetapi apabila agen yang ingin mengalihkannya maka harus meminta persetujuan
dari pihak prinsipal, seandainya tidak ada persetujuan dari pihak prinsipal
maka pihak agen tidak bisa mengalihkannya kepada pihak lain.
Biasanya dalam perjanjian kerja sama
tersebut kedua belah pihak merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang
menjadi perselisihan (events of defaults) antara mereka untuk memutuskan
perjanjian, yang dikategorikan events of defauls adalah :
a. Apabila
agen lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian
keagenan termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
b.
Apabila agen melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan
c.
Apabila para pihak jatuh pailit
d.
Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Pada intinya kerja sama dapat diputuskan
dengan beberapa sebab atau masalah yang telah disebutkan di atas. Bila para
pihak ingin memutuskan perjanjian, maka mereka tetap harus memperhatikan
ketentuan yang ada dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang menentu “pembatalan suatu
perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. [46]
Dengan kata lain apabila seorang
prinsipal ingin memutuskan hubungan kerja sama (perjanjian) dengan pihak agen,
tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis. Tetapi principal
harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwewenang, setelah itu
harus menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya
pemutusan perjanjian keagenan.
Dalam praktiknya, para pihak seringkali
menghindari prosedur tersebut, dan mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal
1266 KUHPerdata. Dengan alasan mereka dapat melakukan pemutusan perjanjian
keagenan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam
perjanjiannya.
Dalam praktek perdagangan dijumpai apa
yang dikenal dengan nama agen perdangangan, yaitu seorang atau suatu perusahaan
yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran
perusahaan lain, umumnya perusahaan luar negeri dan biasanya mereka mempunyai
hubungan tetap.
Hubungan ini dapat berupa :
1.
Perusahaan membeli barang-barang itu untuk perhitungannya sendiri dengan
mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya kembali.
2.
Prusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang
itu.
3.
Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk menemui pembelinya dan
mengusahakan suatu penawaran pembelian. [47]
Maksud hubungan tetap disini adalah
hubungan kerja sama antara pihak agen dengan perusahaan yang memproduksikan
barang-barang tersebut, pihak agen menjadi wakil dari perusahaan (principal)
dan mereka mendapatkan komisi (upah). Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang
Perlindungan Upah, pasal 1 Nomor 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa :
a.
Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk
sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya.
b.
Pengusaha ialah :
1. Orang,
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri.
2. Orang,
persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
miliknya.
3. Orang,
persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
termasuk pada orang 1 dan 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.[48]
Maksud dari pasal tersebut adalah dimana
para pengusaha wajib membayar upah para buruh atas pekerjaan yang telah mereka
lakukan atau pekerjaan yang akan mereka lakukan. Upah tersebut berbentuk uang
dimana persentasenya di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak atau
menurut peraturan undang-undang
Selanjutnya Undang-Undang Perlindungan
Upah, pasal 12 Nomor 8 Tahun 1981 menjelaskan :
1.
Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
2.
Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.[49]
Dari penjelasan di atas, upah dapat
berbentuk uang dan dapat juga diberikan dalam bentuk lain seperti sembako,
adapun waktu pembayaran harus tepat tidak boleh menunda-nundanya.
Adapun hubungan hukum antara agen dengan
principal merupakan hubungan yang dibangun melalui mekanisme layanan
lepas jual, disini hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi
berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena
prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.[50]
Maksud dari penjelasan di atas adalah
hubungan hukum antara agen dan principal adalah hubungan yang dibangun
melalui mekanisme lepas jual. Maksudnya pihak agen membeli produk (tiket) di
perusahaan penerbangan, disini hak milik atas tiket yang dijual oleh agen tidak
menjadi milik perusahaan penerbangan, melainkan hak milik agen karena
prinsipnya agen telah membeli di perusahaan penerbangan.
E. Relevansi
antara Konsep Samsarah dan Konsep Agen dalam Hukum Perdata
Pada prinsipnya konsep samsarah
dan konsep agen adalah sama-sama sebagai perantara, di mana mereka sama-sama
sebagai penengah antara penjual dan pembeli. Bedanya antara samsarah dan
agen yaitu pada nama tetapi maksudnya satu yaitu perantara. Pada masa sebelum
Islam perdangangan perantara disebut dengan al-samsarah tetapi Rasul
menyebut mereka al-tujjar, pada jaman sudah moderen ini mereka sudah
lebih akrap dengan kata-kata agen.[51]
Relevansi antara konsep samsarah
dan konsep agen adalah perantara pada masa Rasul (samsarah) hanya
berfungsi menjualkan barang milik orang lain dengan diberi upah, upah pada masa
itu tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya, yaitu 2,5 % dari
nilai transaksi, ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari
pembeli, keadaan seperti ini disebut dengan adat-istiadat. Supaya tidak terjadi
salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu
syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah.
Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari
harga yang ditentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan
kedua belah pihak.
Sedangkan perantara pada masa sekarang (agen)
adalah mereka menggunakan sistem deposit atau dalam istilah hubungan hukum
keagenan yang bearti mekanisme layanan lepas jual, artinya pihak agen harus
membeli tiket terlebih dahulu ke pihak perusahaan penerbangan setelah itu
barulah pihak agen bisa menjualkan kembali kekonsumen. Dalam hubungan hukum
keagenan telah disebutkan bahwa hak milik atas produk yang dijual oleh agen
tidak lagi berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena
pada prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.[52]
Tetapi pada kenyataan sekarang ini
tidaklah seperti itu, pihak agen travel telah membeli tiket ke perusahaan
penerbangan tetapi pihak agen tidak bisa memegang secara penuh atas hak tiket
tersebut. Harga dan komisi ditetapkan oleh perusahaan penerbangan, komisi yang
diberikan oleh perusahaan penerbangan pada saat ini adalah sebesar persentase
dari total hasil penjualan.
Makelar yang terpecaya tidak
dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak
disengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak. Sedangkan agen adalah suatu
pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk
dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.[53]
Dalam hubungan kerja sama antara pihak agen
dan perusahaan penerbangan, apabila pihak agen bertindak melampaui batas yang
telah diberikan oleh perusahaan penerbangan, maka pihak agen sendiri yang
bertanggung jawab atau menanggung resiko atas tindakan-tindakan mereka. Apabila
tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati
maka pihak perusahaan penerbangan akan bertanggung jawab.
Dalam konsep samsarah tidak ada
yang namanya jaminan, karena bentuk kerja sama yang mereka lakukan adalah
bentuk kerja sama perantara, dimana pihak samsarah hanya berkewajiban
menjualkan barang milik pedagang bukan menanam modal sehingga tidak dibutuhkan
sebuah jaminan.
Dari
uraian-uraian di atas bisa disimpulkan bahwa konsep samsarah pada masa
Rasul dengan konsep agen sekarang sudah banyak yang berubah, yaitu konsep samsarah
pada masa rasul mereka hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan
diberikan upah. Sedangkan konsep agen sekarang menggunakan sistem deposit atau
dalam hukum keagenan disebut dengan mekanisme lepas jual yang artinya pihak
agen harus membeli terlebih dahulu tiket setelah itu barulah dijual ke
konsumen.
Pada masa Rasul mereka tidak mengenal
kontrak kerja, maka dari itu mereka tidak membuat kontrak kerja dan mereka
berprinsip kepada saling percaya dan yakin. Sedangkan sekarang sudah mempunyai
ilmu pengetahuan, maka dari itu mengapa tidak membuat kontrak kerja baik yang
tertulis atau lisan sehingga tidak akan menyebabkan perselisihan paham di
kemudian hari. Pada jaman yang moderen inipun kontrak kerja tidak hanya bisa
dengan lisan, tetapi harus dengan tulisan yang mempunyai saksi, sehingga jika
suatu saat terjadi pailit atau salah paham maka kedua belah pihak mempunyai
bukti yang hitam di atas putih.
Berdagang secara simsar diperbolehkan berdasarkan
agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap
yang lain.[54]
Penjualan dengan cara lelang
(muzayadah) diperbolehkan dalam islam, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi, “Dari Anas RA, Rasul SAW menjual sebuah pelana dan sebuah mangkuk
air, dengan berkata : ‘Siapa yang mau membeli pelana dan mangkuk air ini?’
seorang lelaki menyahut: ‘Aku bersedia membelinya seharga satu dirham’ lalu
nabi berkata lagi : ‘Siapa yang berani menambahi?’ maka dibeli dua dirham oleh
seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada
laki-laki tadi.”[55]
A.
Pengertian
Lelang (Muzayadah)
Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada
penawar yang pada awalnya membuka lelang dengan harga rendah kemudian
semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga
tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi
mendapatkan barang yang dilelangkan.
Lelang juga dapat berupa penawaran
barang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin
menurun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi
yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa
penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut
lelang turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham di bursa
efek di mana penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak
ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi kesepakatan.[56]
Dalam perspektif syariah,
transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah,
yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan
harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini,
penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk
menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya
penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan
pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.[57]
Jual-beli secara lelang tidak
termasuk praktik riba meskipun ia dinamakan bai’ muzayyadah dari kata ziyadah
yang bermakna tambahan sebagaimana makna riba, namun pengertian tambahan di
sini berbeda. Dalam muzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih
dalam akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan
oleh pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam
praktik riba tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak
diperjanjikan dimuka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya.
Lebih jelasnya, praktik penawaran
sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga
kategori: Pertama; Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual
persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang
lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua;
Bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka
tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan
tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika
melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka
karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut,
beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila
ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak
diperkenankan untuk ditawar orang lain.[58]
B.
Hukum
Lelang(muzayadah) menurut fiqih
Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana
penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar
dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli
adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut
mengambil barang dari penjual.[59]
Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan
istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam
masih dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan
ada juga yang Mengatakan makruh hukmnya.[60]
a. Pendapat Ulama Madzhab yang membolehkan Jual Beli Dengan Sistem Lelang
Jual beli model lelang (muzayyadah)
dalam hukum Islam adalah boleh mubah. Di dalam kitab Subulus salam
disebutkan Ibnu Abdi Dar berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang
kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan
di antara semua pihak.
Menurut Ibnu Qudamah Ibnu Abdi
Dar meriwayatkan adanya ijma’ kesepakatan ulama tentang bolehnya
jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar
umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah
melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah
satu cara dalam jual beli.[61]
Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan juga Imam Ahmad.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ
رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ
نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ
ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ
رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ
فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada
seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu
kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada
sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang
lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw
berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang
membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah
seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.”
Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi
saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat
beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw
memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu
dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.[62]
Untuk mencegah adanya penyimpangan
syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun
praktek jual beli yang lain, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum
sebagaigaris petunjuk diantaranya.
1.
Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (’an
taradlin).
2.
Objek lelang atau barang yang diperjual belikan harus halal dan bermanfaat.
3.
Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual.
4.
Kejelasan dan transparansi barang atau jasa yang dilelang atau yang
diperjual belikan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau
lainnya.
5.
Kesanggupan penyerahan barang dari penjual kepada Pembeli.
6.
Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan
perselisihan.
7.
Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk menangkan
lelang dan tawar-menawar harga.
b. Pendapat ulama madzhab yang melarang
jual beli dengan sistem lelang
Salah satu ulama dari kalangan
mahdab hanafi, sebenarnya ada sebagian kecil ulama yang keberatan seperti
An-Nakha’i, dan Al-Auza’i mengatakan bahwa hukum jual beli secara lelang
hukumnya makruh secara mutlak.
Sedangkan Hasan Al Basri, Ibnu
Sirin dan ulama yang lain berpendapat bahwa jual-beli secara lelang hukumnya
makruh terkecuali terhadap 2 masalah, yaitu masalah qhonimah (harta
rampasan perang) dan waris. Qhonimah bisa berupa
barang selain uang, sehingga agar barang tersebut berwujud uang agar bisa
dibagi-bagi maka diperbolehkan untuk di lelang. Sebagai contoh misalnya
terdapat harta rampasan perang berupa senjata. Maka agar senjata tersebut bisa
dibagi-bagi maka diperbolehkan dijual dengan cara lelang. Termasuk juga harta
warisan. Umumnya harta warisan tidak selalu berbentuk uang tunai (misal tanah,
rumah, kendaraan dll), sehingga untuk memudahkan pembagian warisan
diperbolehkan untuk di lelang. Para ulama tersebut mengkategorikan lelang
hukumnya makruh karena terdapat hadist :
Pertama, hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah
melarang jual beli secara lelang.
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
نهى عن بيع المزايدة
Artinya:“Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual
beli lelang. (HR Al-Bazzar)”. Imam Ibnu Hajjar didalam kitabnya
menyatakan bahwa hadist tersebut dhoif maka hadist tersebut tidak bisa
dijadikan landasan hukum. Sehingga para ulama tersebut menyatakan hukum lelang
adalah makruh dan tidak sampai mengharamkannya.
Kedua, bahwa Rasulullah melarang seseorang membeli
barang yang sudah ditawar oleh saudaranya atau orang lain (sama halnya ketika
Rasulullah melarang mengkhitbah wanita yang sedang di khitbah oleh orang
lain/saudaranya).“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang di
antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia
meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.[63]
Lelang juga tidak diperkenankan jika terdapat
kecurangan atau penipuan (Misalnya dalam proses lelang terdapat persekongkolan
2 sampai 3 orang atau lebih yang bersepakat menawar sebuah barang).[64]
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk
keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun dikategorikan para ulama dalam
praktik Najasy (komplotan/trik kotor lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR.
Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok)
bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk
memenangkan lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki
mitranya bisnisnya.[65]
Untuk itu, menurut jumhur ulama memakruhkan jual beli
dengan proses lelang, karena bisa mengandung unsur-unsur atau trik-trik
penipuan dan persekongkolan untuk memanipulasi barang dagangan.[66]
Apabila seseorang menjual sebidang tanah atau
lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon, rumah, dan lainnya, menurut
madzhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di dalanya turut
terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil
sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan benih serta tanamannya, kalau
menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, maka
penjualan itu batal karena tidak jelas, apakah hanya tanah atau dengan tanaman
dan biji-bijian.
Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
1. Batu yang ada di
dalamnya;
2. Barang – barang yang
terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Adapun menjual sebidang kebun, yang termasuk di
dalamnya adalah:
1. Pohon-pohonannya;
2. Bangunan-bangunnya
yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan
disepakati dua belah pihak;
3. Pekarangan yang
melingkari;
4. Tanahnya.
Bila menjual rumah, di dalamnya ialah :
1. Tanah tempat mendirikan;
2. Apa yang ada dalam pekarangannya.
Bila menjual seekor binatang, maka yang termasuk di
dalamnya adalah:
1. Sandal/Sepatunya;
2. Pelananya.
Bila yang dijual itu pohon-pohon yang sedang berbuah,
buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan agar buahnya untuk
dia.[67]
Jual beli
adalah pertukaran barang dengan barang antara penjual dan pembeli atas dasar
saling ridla satu sama lain. Allah berfirman dalam QS.
Al-Baqarah ayat 275:
الرِّبَا
وَحَرَّمَ اللَّهُ الْبَيْعَ وَأَحَلَّ
"Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Rukun jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari: Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidani),
Adanya uang (harga) dan barang (ma’qud alaih), Adanya akad.
Syarat-syarat
yang sah antara lain yaitu: Para pihak (penjual dan pembeli) berakal, Atas
kehendak sendiri, Bukan pemboros (mubazir), Suci barangnya, dapat dimanfaatkan,
milik orang yang melakukan akad, dapat diserahkan, dapat diketahui barangnya,
barang yang ditransaksikan ada di tangan, Ijab Qabul.
Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a. Jual beli yang
sah
b. Jual beli yang batal
c. Jual beli yang fasid
Apabila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat
dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata
ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya.
Badan perantara (simsar) yaitu seseorang yang menjualkan
barang orang lain atas dasar bahawa seseorang itu akan diberi upah oleh yang
punya barang sesuai dengan usahanya.
Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan
dalam islam.
Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau
hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual
Segala kajian tentang muamalah telah dikaji oleh para
ulama agar kaum muslimin mengetahui dan menerapkannya. Sebagai generasi
selanjutnya, alangkah baiknya jika kita mengetahui bahkan menguasai tentang
segala bentuk kajian muamalah dalam Islam dan menerapkannya dalam kehidupan
kita ditengah-tengah kondisi muamalah kita yang mayoritas masih didominasi oleh
sistem-sistem sosialis dan kapitalis.
A. Karim,
Adiwarman. 2008, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, Cet.
II
Abu Bakar, Muhammad Najtullah. Kegiatan Ekonomi
Dalam Islam, alih bahasa Anas Siddiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), At-Tirmizi, al Jami’ as-Sahih, Kitab
al-Buyu’ (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), III:125. Hadis dari Abu Sa’id al-Khudhri
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 347
Bakri, Nazar . Problematika Pelaksanaan Islam,
cet. ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994).
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum
Perjanjian Fikri, Ali. al-Mu’amalah al-Madiyah wa
al-Adabiyah (Kairo: Matba’ah al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu, 1938), I: 12.
Djamil, R. Abdul. Hukum Islam: Asas-asas Hukum
Islam, cet. ke-1 (Bandung: Mandar Maju, 1992),
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, cet. ke-1
(Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000),
Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah (Mesir: Isa
al-Baabi al-Halabi wa Syarakauhu, t.t.), VI: 755. Hadis dari Muhammad bin
Basyar dari Wahab bin Jarir.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Buyu’
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 4. Hadis dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah.
Mujieb, M.
Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqh, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994)
Munawwir,
A.W. Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-14 (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13
Suhendi,
Hendi. 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers.
Suheri, Fikih
Muamalah Islam, http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/(diakses pada
Tanggal 28 April)
Otomo,
Setiawan Budi, Hukum lelang dan Tender,
http://ekisopini.blogspot.com/2009/08/hukum-lelang-dan-tender.html
(diakses pada tanggal 28 April)
Sarwat,
Ahmad, Lelang dalam tinjauan Syariat,
http://kajiankantor.com/blog/2010/04/20/lelang-dalam-tinjauan-syariat/
(diakses pada tanggal 28 April)
Hanniah,
Rafiqatul, Lelang dalam pandangan Islam, http://rafiqatul-
hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
(diakses pada tanggal 28 April)
http://dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html
(diakses pada tanggal 29 April)
Ma’ruf,
farid, Jual Beli Lelang,
http://faridmaruf.wordpress.com/2007/02/13/jual-beli-lelang/ (diakses
pada tanggal 29 April)
[1]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, h. 124
[2]
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002--al-baqarah/564-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-275.html
[3]
Adiwarman A. Karim, 2008, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq,
Cet. II, hal. 87
[4]
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-14
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 124.
[5]
M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqh, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), hlm. 34.
[6]
Adiwarman A. Karim, Fikih Muamalah, hal. 88.
[7]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 347
[8]
R. Abdul Djamil, Hukum Islam: Asas-asas Hukum Islam, cet. ke-1 (Bandung: Mandar
Maju, 1992), hlm. 141-142
[9]
An-Nisa (4): 29
[10]
An-Nisa (4): 5
[11]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III: 129
[12]
At-Tirmizi, al Jami’ as-Sahih, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.),
III:125. Hadis dari Abu Sa’id al-Khudhri.
[13]
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian, hlm. 37-40.
[14]
An-Nisa (4): 29.
[15]
Muhammad Najtullah Abu Bakar, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, alih bahasa Anas
Siddiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 56.
[16]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 4.
Hadis dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah.
[17]
Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah (Mesir: Isa al-Baabi al-Halabi wa Syarakauhu,
t.t.), VI: 755. Hadis dari Muhammad bin Basyar dari Wahab bin Jarir.
[18]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000),
hlm. 120-125.
[19]
Nazar Bakri, Problematika Pelaksanaan Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Raja
Grafindo, 1994) hlm. 62.
[20]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al Buyu’, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992) II: 4
Hadis dari Abu Bakar Ibnu Abi Saibah.
[21]
Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Madiyah wa
al-Adabiyah (Kairo: Matba’ah al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu, 1938), I: 12.
[22]
Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers. Hal.83-84
[23]
Ibid. hal. 84-85[25]M. Ali, Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (figh
muamalat), ed. 1., cet.2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 289
[24]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12, Bandung: PT Al-Ma'rif, 1996, hlm. 15
[25]
Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup Dalam
Perekonomian, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.hlm. 269
[26]
Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Terj. Mu'alam Hamidy),
Surabaya : Bina Ilmu, 1993
[27]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terj.
Kamaluddin A.Marzuki), Jilid 13, Bandung: Al-Ma'rif, 1997, hlm. 159.
[28]
Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial Law,
Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm. 96-97
[29]
Abdullah Abdulkarim, Broker/Pemakelaran (samsaroh) dalam Islam,
http://ocessss.blogspot.com/2009/07/07/
brokerpemakelaran-samsarah-dalam-islam-html.
[30]
Ibid, 2009/07/07
[31]
Agustianto, Multi Level Marketing dalam Perspektif Fiqih Islam,
http://m.ekonomiislam.
webnode.com/news/multi-level-marketing-dalam-perspektif-fiqih-islam/
[32]
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al- fikri Arab, 1998, hlm.27.
[33]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh, Bogor: PT. Prenada Media, 2003, hlm.
215
[34]
Abdullah Abdulkarim, Op. cit.,
2009/07/07
[35]
Achmad Ichsan, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-aturan
Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hlm. 33
[36]
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. I. ed.rev Jakarta: Djambatan,
2005, hlm.144
[37]
Op.Cit. hlm, 148
[38]
Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta ,
1994, hal. 12
[39]
Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi
lengkap Semarang, CV. Aneka, hal. 48-49
[40]
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, ed.3, cet.2 Jakarta: Balai Pustaka,
2002, hlm.12
[41]
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus, ed.2,
cet.2 Jakarta: Kencana , 2006, hlm.68
[42]
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam, cet.2 Jakarta, PT. Rineka
Cipta, 2003, hlm.53
[43]
Benoe Satryo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenaga Kerjaan, ed.11,
Yogyakarta, Andi Offset, 2003, hlm.158
[44]
Ibid., hlm. 53.
[45]
Ibid., hlm. 55
[46]
Ibid., hlm. 55
[47]
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, lembaga Perserikatan, Surat-surat Berharga,
Aturan-aturan Angkutan, cet.5 Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hlm.45
[48]
Benoe Satriyo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan, ed.II
Yogyakarta, Andi Offset,2003, hlm. 158
[49]
Ibid., , hlm. 161
[50]
Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan,
teori & contoh kasus, ed.II, cet.II Jakarta,Kencana, 2006, hlm. 68
[51]
Abdullah dan Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial
Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm, 96-97.
[52]
Op. Cit., hlm.68
[53]
Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, (Jakarta, PT. Rineka Cipta,
1994), hlm, 12
[54]
Ibid. hal. 85-86
[55]
Ibid. Hal 86-87
[56]
Rafiqatul, hanniah, Lelang dalam pandangan
Islam,http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
[57]
Suheri, loc. cit
[58]
http://dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html
[59]
Farid, Ma’ruf, Jual Beli
Lelang,http://faridmaruf.wordpress.com/2007/02/13/jual-beli-lelang/
[60]
Rafiqatul, hanniah, loc. cit
[61]
dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html, loc.cit
[62]
Rafiqatul, hanniah, loc. cit
[63]
dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html, Loc. cit
[64]
Dr. Ahmad, Sarwat LC, Loc. cit
[65]
Rafiqatul, hanniah, Loc. cit
[66]
Dr. Ahmad, Sarwat LC, Loc. ci
[67]
Ibid. Hal. 87-88