Sabtu, 27 September 2014

kosep jual beli syari'ah



MATA KULIAH FIQIH MUAMALAH
MEMAHAMI KONSEP PERDAGANGAN
ATAU JUAL BELI





Oleh:
TISYA PERDANA N.K
SITI MUTMAINNAH
DELYANANDA ARISKA PUTRI



EKONOMI SYARI’AH 1C

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2014/2015




Bismillahirrohmanirrohim
     Segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, taufiq dan inayahNya kepada kita semua. Shalawat beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita yakni Sayyidina Muhammad SAW serta keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.
    Rasa terima kasih Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu Kami, baik berupa saran, masukan dan dorongan dan terkhusus kepada dosen pembimbing : Bapak M. Novi Rifa’i, M.A  sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini walaupun dalam bentuk sederhana.
   Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan (tiada gading yang tak retak). Sebab itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat Kami harapkan demi kesempurnaan makalah fiqih muamalah ini untuk masa mendatang.
   Akhirnya dengan harapan serta do’a, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi segala kalangan, amin.



                                                                                                Malang, September 2014


                                                                                                            Penyusun










Dalam agama Islam muamalah merupakan bagian yang mengatur tentang hubungan antara sesama manusia (hablu minannas). Hukum asal dalam bermuamalah adalah “segala sesuatu diperbolehkan, kecuali yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Sunnah”. Sehingga banyak sekali bidang yang tercakup dalam muamalah.
ماَ أَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ، فَإِنَّ اللهَ لمَ ْيَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا. (رواه الحاكم)
Artinya: "Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apapun".[1] (HR. al-Hakim)
Praktik yang paling nyata terkait dengan ini adalah kegiatan jual beli atau bisnis. Bisnis, meskipun bertujuan untuk mendapat keuntungan akan tetapi harus tetap melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah dan berorientasi untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dasar dari jual beli adalah firman Allah  surat al-baqoroh ayat 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا [2]
  "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Dari dalil diatas maka  diperlukan identifikasi mengenai hal-hal apa saja yang dilarang, agar selanjutnya dapat dihindari. Dimungkinkan juga dilakukan penambahan, penciptaan, pengembangan namun harus melalui ijtihad berdasarkan aturan syariah.
 Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“....mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (al-Baqarah : 275)
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan (laba). Jual beli barang merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan (bisnis), bahkan secara umum adalah bagian terpenting dalam aktivitas usaha. Jika asal jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada pula yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga betul-betul mengerti persoalan.[3]
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah jual beli. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Definisi Jual Beli?
2.    Bagaimanakah Rukun dan Syarat Jual Beli?
3.    Bagimanakah Syarat Sah Ijab Qabul?
4.    Bagaimanakah Macam-Macam Jual Beli?
5.    Apakah yang Disebut Badan Perantara?
6.    Apakah yang Disebut dengan Lelang (Muzayadah)?
7.    Bagaimanakah Sistematika Penjualan Tanah.



Dalam makalah ini, penyusun bertujuan untuk mengetahui :
1.      Bagaimanakah Definisi Jual Beli;
2.      Bagaimanakah Rukun dan Syarat Jual Beli;
3.      Bagaimanakah Macam-Macam Jual Beli; (Sah, Fasid dan Batil)
4.      Berselisih dalam Jual Beli
5.      Apakah yang Disebut Badan Perantara;
6.      Apakah yang disebut Dengan Lelang (Muzayadah);
7.     Bagaimanakah Sistematika Penjualan Tanah atau Status Buah-Buahan yang Rusak Setelah Dijual;







Perkataan jual beli dalam bahasa Arab disebut al-Bai’ (البيع) yang merupakan bentuk masdar dari  باع – يبيع – بيعا yang artinya menjual.[4] Sedangkan kata beli dalam bahasa arab dikenal dengan شراء yaitu masdar dari kata شرى – يشرى - شراء namun pada umumnya kata بيع sudah mencakup keduanya, dengan demikian kata بيع berarti jual dan sekaligus berarti membeli.
Maksudnya adalah melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara sukarela dan tidak bertentangan dengan syara’.
Sedangkan Hasbi ash-Shiddeqy mendefinisikan jual (menjual sesuatu) adalah memilikkan pada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.
Dari beberapa pengertian di atas, Abdul Mujieb merumuskan definisi al-Bai sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan menerima harta atau atas saling ridla, atau ijab dan qabul atas dua jenis harta yang tidak berarti berderma, atau menukar harta dengan harta bukan atas dasar tabarru.[5]
Dengan memahami beberapa arti di atas maka dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara:
1.     Pertukaran antar dua pihak atas dasar rela, dan
2.     Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diatur sah dalam lalu lintas perdagangan.
Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar rela ini dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional). Sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan, yang dimaksud dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan lain sebagainya.

2.2  Rukun dan Syarat Jual Beli
Perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.
Dalam menentukan rukun jual beli ini, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan adanya tukar menukar atau yang serupa dengannya dalam bentuk saling memberikan (at-Ta’ati).[6] Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanya kerelaan kedua belah pihak untuk berjual beli.
Sedangkan rukun jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari:
1.      Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidani)
2.      Adanya uang (harga) dan barang (ma’qud alaih)
3.      Adanya akad.
Di samping harus memenuhi rukun-rukun tersebut di atas, dalam transaksi jual beli juga harus memenuhi syarat-syarat yang sah antara lain yaitu:[7]
1.Tentang pihak-pihak yang berakad, syarat-syaratnya:
a.       Para pihak (penjual dan pembeli) berakal.
Bagi setiap orang yang hendak melakukan kegiatan tukar menukar sebagai penjual atau pembeli hendaknya memiliki pikiran yang sehat. Dengan pikiran yang sehat dirinya dapat menimbang kesesuaian antara permintaan dan penawaran yang dapat menghasilkan persamaan pendapat. Maksud berakal disini yaitu dapat membedakan atau memilih yang terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli tersebut tidak sah.

b.      Atas kehendak sendiri.
Niat penuh kerelaan yang ada bagi setiap pihak untuk melepaskan hak miliknya dan memperoleh ganti hak milik orang lain harus diciptakan dalam kondisi suka sama suka. Maksudnya adalah bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lainnya, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi dengan adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam ayat:
الا ان تكون تجارة عن تراض منكم ...   [8]

c.       Bukan pemboros (mubazir)
Maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, artinya ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تؤتؤا السفهاء اموالكم التي جعل الله لكم فيما وارزقوهم فيها واكسهم وقولوالهم قولا معروفا…[9]

2.Tentang keadaan objek atau benda yang ditransaksikan, syarat-syaratnya adalah:[10]
a.         طهارة العين (Suci barangnya)
Artinya adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang najis atau barang yang diharamkan, oleh syara’ barang yang diharamkan itu seperti minuman keras dan kulit binatang yang belum disamak.

b.        الإنتفاع به (dapat dimanfaatkan)
Maksudnya adalah setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif. Sebab, pada hakekatnya seluruh barang yang dijadikan objek jual beli adalah barang yang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung ataupun tidak. Sejalan dengan perkembangan zaman yang makin canggih, banyak orang yang semula dikatakan tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat.

c.      ملكية العاقدله (milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya adalah bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari pemilik sah barang. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai jual beli yang batal.

d.      القدرة على تسليمه (dapat diserahkan),
Maksudnya adalah bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan. Hal ini dinyatakan dalam hadis:
ولاتشتروا السمك فى الماء فإنه غرر[11]
e.       العلم به (dapat diketahui barangnya),
Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat dan kualitas barang. Apabila dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual beli tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan (garar). Hal ini sangat perlu untuk menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan. Misalnya dari akad yang terjadi kemungkinan timbul kerugian di pihak pembeli atau adanya cacat yang tersembunyi dari barang yang dibelinya.

f.        كون المبيع مقبوضا (barang yang ditransaksikan ada di tangan),
Maksudnya bahwa objek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.[12]

3.Tentang sighat akad (ijab dan qabul)
ijab dan qabul merupakan bentuk pernyataan (serah terima) dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam hal ini Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab dan qabul, yaitu:
a.  Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu benar-benar merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cukup melakukan tindakan hukum.
b.  Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek akad.
c.  Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis, apabila  kedua belah pihak sama-sama hadir atau sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir.
Ijab dan qabul.
Ijab dan qabul  dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1)  Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
2)  Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat bicara.
3)  Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.[13]
Mengingat posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang paling asasi dalam akad adalah adanya suka sama suka atau kerelaan. Sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT.
ياأيها الذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم…[14]
d.      Menurut Ahmad Azhar Basyir, adanya beberapa hal yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya paksaan, adanya penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu muslihat.
Suatu akad jual beli dapat dikatakan mengandung unsur penipuan apabila penjual menyembunyikan aib terhadap barang dagangannya agar tidak tampak seperti sebenarnya, atau dengan maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih besar. Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu: penipuan yang dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang bersifat ucapan dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang atau disebut dengan penipuan yang bersifat perbuatan.
e.       Kejujuran dan kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang terpenting. Sehubungan dengan ini, maka sikap yang mengeksploitasi orang lain dan menjahili atau membuat pernyataan palsu merupakan perbuatan yang dilarang.[15] Hadis Nabi SAW.
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر[16]
Hadis di atas memberi pengertian bahwa segala bentuk jual beli yang mengandung unsur adanya tipuan, maka hukumnya dilarang, karena dalam jual beli tersebut tidak berterus terang tentang kondisi barang yang terkena cacat. Apabila penjual mengetahui bahwa dalam barang dagangannya tersebut mengandung cacat, maka harus menjelaskan sifat-sifat tersebut pada pembeli. Hadis Nabi SAW.
المسلم أخو المسلم ولا يحل لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب الا بينه له[17]
  
Selagi manusia masih hidup dan bermasyarakat serta masih berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia yang bermacam-macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin maupun insidental, maka jual beli juga bermacam-macam:
1.      Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a.       Jual beli yang sah
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik dengan orang yang mengadakan transaksi, objek transaksi serta ijab dan qabul.

b.      Jual beli yang batal
Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli yang menurut asalnya tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil atau jual beli barang haram. Termasuk jual beli yang batal ini, antara lain:

1. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Ada (Bai’ Ma’dum)
Bai’ ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada) yang didalamnya terdapat unsur ketidakjelasan adalah bathil. Seperti menjual anak unta yang masih dalam kandungan dan menjual buah yang masih dipohon (belum matang), karena Nabi SAW melarang jual beli anak ternak yang masih dalam kandungan dan juga melarang jual beli air susu yang masih diteteknya (bisa kelihatan besar, ternyata isinya lemak) dan melarang pula jual beli buah yang masih dipohon (belum matang).
Contoh-contoh lain jual beli yang tidak ada barangnya: Jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya, jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya, dan jual beli kitab sebelum mencetaknya. Semua jenis jual beli tersebut adalah batal menurut Syafi’iyah dan Hanabilah; karena pada akad-akad tersebut terkandung unsurketidakjelasan.
Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak).
Taimiyah (Hambali) dan Ibnu Qayim memperbolehkan jual beli ma’dum, apabila dapat dipastikan akan ada, karena tidak disebutkan dalam nash jual beli seperti itu dilarang, yang ada hanya jual beli gharar.
“tidak ada sebab yang melarang jual beli yang tidak ada wujudnya/barangnya”

2. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Dapat Diserahkan Pada Pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim)
Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa sesungguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’juz at-tasliim ketika berakad, sekalipun harta/benda/barang tersebut adalah miliknya sendiri, seperti memperjualbelikan burung yang terbang dari pemiliknya. Walaupun bisa mendatangkan barang saat di majlis akad, tetap tidak dianggap boleh, karena ada unsure bathil.
Batalnya akad dapat pula terjadi apabila harga (barang pengganti) tidak dapat diserahkan; karena jika harga (barang pengganti) tersedia, maka barang jualan akan menjadi hak milik.
Dalil kebatilannya : karena Nabi SAW melarang jual beli Hashah (jual beli barang dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual belinya) jual beli Gharar (jual beli barang yang tidak diketahui rupa dan sifatnya). Dan itu menunjukan adanya ketidakpastian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri RA sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang ternak yang masih dalam kandungan hingga lahir, dan jual beli air susunya, dan melarang jual beli kambing hingga terbagi.
Ulama Hanafiah berpendapat walaupun penyerahannya langsung dalam majlis (tempat akad), tetap tidak diperbolehkan, karena ada unsur batil.

3. Jual Beli Hutang (Bai’ Dain)
Hutang itu seperti barang pengganti (harga) barang yang diperjualbelikan, menunjukan pinjaman, dan mahar sesudah maupun sebelum jima dengan istri. Sebagai pengganti biaya atas keuntungan yang diperoleh, dan dianjurkan terdapat sanksi dan denda yang merugikan, dan khulu’ dan tidak dapat dibantah.
Disyariatkannya Jual Beli dengan hutang adakalanya pada waktu akad maupun nasi’ah (berhutang terlebih dahulu)
Adapun jual beli nasi’ah (pembayaranya bertempo) adalah jual beli kredit dengan kredit atau hutang dengan hutang. Kala’(kredit) adalah yang pembayaranya diakhirkan, hal ini dilarang dan bathil menurut ijma’, karena ada unsure riba, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Daruqutni dari Ibnu Umar : sesungguhnya Anbi SAW melarang jual beli kredit dengan kredit. Dan pelarangan ini menunjukan fasidnya sesuatu yang dilarang tadi (jual belinya) walaupun yang bertransaksi adalah orang berhutang atau bukan orang yang berhutang.
Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang adalah seseorang berhutang kepada orang lain sebanyak 100 dinar, kemudian keduanya sepakat untuk menggantinya dengan 20 ritl (1 ritl kurang lebih 2564 gram) gula dari orang yang berhutang yang akan dibayar sebulan atau dua bulan kedepan, praktek ini disebut juga “merusak hutang dengan hutang” karena tanggungan penghutang yang awal telah rusak, diganti dengan tanggungan yang lain.
Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang adalah seseorang berhutang sebanyak 100 dinar, kemudian uang itu dihutang lagi dan oleh orang lain, digunakan untuk membeli 50 ritl beras, dan di bayarkan kepadanya pada bulan depan.
Jual beli yang pembayaranya tunai adalah sebagai berikut:

1. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang : Jumhur fuqoha membolehkanya selain Dhohiriyah, karena penghalang keabsahan jual beli hutang degan hutang ini terletak pada lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, dan hal itu tidak dihajatkan pada jual beli hutang yang pembayarannya tunai ini, karena yang terkandung dalam tanggungan penghutang sudah diserahkan seluruhnya.

2. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang : tidak diperbolehkan menurut Hanafiyah dan Dhohiriyah, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, atau karena hutang yang diserahkan tidak jelas ukuranya, kecuali jika orang yang berhutang tadi dengan sendirinya mempunya haq sebagai seorang pedagang.
Syafi’iyah dan Hanabilah juga tidak membolehkanya, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang dan harta ribawi yang terdiri dari uang, makanan menurut Syafi’iyah haram di gunakan untuk dijual belikan antara sebagian dengan sebagian yang lain.
Malikiyah membolehkan Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang, dengan 8 syarat yang kemudian diringkas menjadi 2 syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Hendaknya tidak menunjukan kepada jual beli yang dilarang oleh syar’I seperti gharar atau riba dan yang lainya.
2. Hendaknya memperkirakan hutangnya akan kembali

4. Jual Beli Gharar

Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) dan al khida’ (penipuan). Secara istilah adalah jual beli yang hukumnya terbatasi. Jadi bai gharar adalah jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang, atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud atau batasanya, disepakati pelarangnnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi SAW melarang jual beli Hashah dan jual beli gharar. (HR. Bukhari)
Dari Ibnu Mas’ud : sesungguhnya Nabi SAW berkata : janganlah kalian membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya itu gharar.
Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.
Gharar yang membatalkan aka adalah gharar wujud : yaitu setiap jual beli yang barangnya disangsikan akan keberadaanya (benar-benar ada atau tidak)
Nawawi berkata “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari ushul syar’I.” Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung., kecuali dalam dua perkara Imam An-Nawawi menyatakan, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.
Jual beli yang termasuk gharar berdasarkan hadist yang berbunyi “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli muhaqallah , mukhadarah , mulammassah ,munabazah , dan muzabanah ” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

5. Jual Beli Najas Dan Mutanajas

Para Ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual beli bagi khomer, babi, bangkai dan darah. Karena semuanya itu bukan termasuk maal. Sabda beliau SAW : sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-NYA mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan berhala.
Jumhur ulama (selain Hanafiah) juga mengikutkan anjing dalam pengharanman jual beli ini. Berdasarkan hadist Abu Mas’ud Al Anshory : Nabi SAW melarang menjadikan anjing sebagai tsaman.”
Jumhur juga meniadakan akad jual beli barang yang terkena najis, yang tidak mungkin dapat disucikan kembali, seperti minyak, madu dan samin yang didalamnya terdapat najis, dan dibolehkan apabila barang itu dapat disucikan, seperti kain.
Tidak dibolehkan juga bagi jumhur jual beli barang yang pada asalnya najis seperti pupuk (kotoran binatang) herbivora menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah yaitu kotoran (tinja) dan tulang bangkai beserta kulitnya.
Malikiyah membolehkan jual beli kotoran sapi, kambing, onta dan sejenisnya. untuk keperluan menggarap tanah atau yang lainya yang termasuk mendatangkan manfaat.

6. Jual Beli Dengan Uang Muka (Bai’ Urbun/DP)

Uang muka adalah seseorang membeli sesuatu kemudian menyerahkan kepada penjual sebagian dari harga barang itu berupa dirham atau sejenisnya dengan catatan apabila jual beli itu dilanjutkan, uang muka diperhitungkan sebagai bagian dari keseluruhan harga, sedangkan apabila jual beli tidak dilanjutkan, uang muka tersebut diberikan kepada penjual, dengan kata lain, apabila transaksi jual beli berlanjut, uang muka sebagai bagian dari harga barang, sedangkan apabila transaksi jual beli tidak berlanjut, uang muka menjadi pemberian dari pembeli kepada penjual.
Hukum jual beli dengan pembayaran uang muka (ba’i al-urbun) terdapat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu kelompok yang menyatakan tidak sah dan kelompok yang menyatakan sah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli dengan sistem panjar/uang muka adalah jual beli yang terlarang dan tidak sah, ulama Hanafiah memasukkan dalam kategori jual beli fasid, sedangkan Syafiiyah dan Malikiyah menghukumi jual beli batal berdasarkan hadis Rasulullah saw. Sesungguhnya Nabi saw. melarang jual beli urbun (sistem uang muka)
Jual beli macam ini juga termasuk jual beli gharar, terlarang dan termasuk makan harta orang lain secara bathil, selain itu dalam jual beli sistem ini mengandung dua syarat yang fasad yaitu syarat hibah (pemberian uang muka) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha
Ulama hanabilah menghukumi jual beli dengan uang muka tidak apa-apa (boleh) berdasarkan riwayat Abd al-Razaq dalam Mushanafnya dari hadis Zaid bin Aslam bahwa Nabi saw. “ditanya tentang uang muka dan beliau menghalalkannya.”
Dan juga riwayat dari Nafi bin al-Harits pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah dengan empat ribu dirham, (dengan ketentuan) apabila Umar suka, barang yang dijual itu untuknya, apabila Umar tidak suka, empat ribu dirham itu untuk Shafwan

7. Jual Beli Air (Bai’ Maa’)

Air ada kalanya mubah atau ghoiru mubah. Mubah adalah air yang dimiliki oleh seluruh manusia dan mereka mengambil manfaat darinya, seperti : air laut dan sungai-sungai umum. Sabda Nabi SAW “Muslimin itu berserikat dalam tiga : air, rerumputan dan api.”
Ghoiru mubah atau dimiliki adalah air yang termasuk dalam kepemilikan khusus, individu atau jama’ah. Dan air yang mengandung pengkhususan kepemilikan seperti penduduk suatu desa tertentu dan air yang dijaga di dalam bejana-bejana (dikemas).
Hukum menjual belikannya adalah boleh, kecuali dalam keadaan dhorurat (bahaya). Seperti : kehausan yang bisa menyebabkan kematian, maka wajib untuk memberinya air, apabila masih saja menghalanginya, maka sama saja ia membunuhnya.
Jumhur membolehkan jual beli air yang ghoiru mubah, seperti : air sumur, mata air, dan yang dikemas dll. Disejajarkan dengan kayu yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dalam memperjual belikannya.
Madzhab Dhohiriyah tidak menghalalkan jual beli air secara mutlak, karena Nabi SAW melarang jual beli air.
Larangan menjualnya terjadi pula dalam keadaan khusus seperti : apabila jual beli air ini diniatkan untuk menyuburkan rerumputan yang ada di sekitarnya (sumur) dikarenakan penggembala akan membutuhkan air untuk gembalaanya.

c.       Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah membedakan arti jual beli yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal, seperti jual beli barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan bisa diperbaiki maka hukumnya jual beli fasid.[18]
Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah disebut di atas terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:
a.       Jual beli yang tidak sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syariat Islam karena ada alasan-alasan tertentu seperti:
1)      Menyakiti kepada salah satu atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu.
2)      Menyempitkan gerakan pasaran.
3)      Merusak ketentraman umum.
b.      Jual beli yang sah tapi dilarang, antara lain:
1)     Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang tersebut.
2)      Membeli barang yang sudah dibeli oleh orang lain atau sudah ditawar oleh orang lain yang masih dalam masa khiyar.
3)      Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan belum mengetahui harga yang ada di pasar.
4)      Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
5)     Jual beli dengan mengicuh atau menipu baik dari pihak penjual maupun si pembeli.[19] Sabda Nabi SAW:
نهي عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر[20]

2.      Jual beli dilihat dari segi harganya:
a.       Jual beli musawamah, yaitu menjual sesuatu dengan jalan tawar menawar.
b.      Jual beli tauliyah, yaitu menjual dengan harga modal artinya harga jual dan harga beli sama.
c.       Jual beli murabahah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan mencari laba yang diketahui.
d.      Jual beli wadi’ah, yaitu jual beli barang yang harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang tersebut.[21]
Cara membedakan fasid dan batil dapat dilihat dari :
1) Apabila kerusakan berhubungan dengan, komoditi (barang) berarti bai’nya bathil.
2) Apabila kerusakan berhubungan dengan harga berarti fasid .


Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan duta menghilangkan barokah jual beli. “Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah” (Bukhari Muslim)
Apabila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya. “Apabila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalakan.” (HR. Abu Dawud).[22]
Apabila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, dan keduanya mempunyai bukti atas pengakuan masing-masing, hendaklah mereka bersumpah. Demikian menurut pendapat para imam madzab. Orang yang disumpah pertama kali adalah penjual. Demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Sedangkan menurut Hanafi: hendaknya yang pertama kali disumpah adalah pembeli.
Apabila barang yang dibeli sudah rusak, lalu terjadi perselisihan soal harganya, keduanya disumpah. Demikian menurut Syafi’i. Kemudian jual belinya dibatalkan. Jika barang tersebut bisa dijual, hendaknya dibayar menurut harganya. Adapun jika barang tersebut ada pada penjual, hendaknya diberi bandingannya itu oleh pembeli. Demikian juga menurut salah satu riwayat Hambali dan Maliki. Sedangkan pendapat Hanafi: jika barang sudah rusak, tidak perlu disumpah, dan perkataan atau pengakuan yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli. Demikian juga menurut pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya. Zufar dan Abu Tsawr berpendapat: dalam keadaan demikian, yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli.
Syafi’i dan Ibn Suraij berpendapat: yang dibenarkan adalah pengakuan si penjual. Perselisihan yang terjadi antara ahli waris si penjual dan ahli waris si pembeli hukumnya disamakan dengan ini.
Hanafi berpendapat: jika barang yang dijual berada di tangan ahli waris si penjual, keduanya bersumpah. Adapun jika sudah berada di tangan ahli waris si pembeli, diterimalah pengakuanya dengan sumpah.
Jika yang dijadikan perselisihan adalah masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka waktunya, atau masalah syarat khiyar atau jangka waktunya, keduanya disumpah. Demikian menurut Syafi’i dan Maliki. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hambali: tidak ada sumpah dalam syarat-syarat ini, dan pengakuan yang diterima adalah pengakuan yang meniadakan.
Apabila seseorang menjual suatu barang dengan harga yang berada dalam tanggung jawab pembeli, lalu mereka berselisih, kemudian penjual berkata: “Aku tidak akan menyerahkan barang ini sebelum aku terima bayarannya.” Pembeli mengatakan: “Aku belum mau membayar harga sebelum menerima barang.” Maka dalam hal ini Syafi’i memiliki beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah penjual dipaksa untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar harganya. Pendapat lain, bahwa yang dipaksa adalah si pembeli. Menurut pendapat lain, tidak ada paksaan. Adapun jika salah seorang menyerahkan, yang lain harus dipaksa untuk membayar. Dalam hal ini, menurut pendapat Syafi’i, keduanya harus dipaksa. Sedangkan Hanafi dan maliki berpendapat: pembeli harus dipaksa lebih dahulu untuk membayar harganya.
Apabila barang yang dijual telah rusak sebelum diterima oleh pembeli karena terkena bencana alam, jual beli menjadi batal. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Menurut pendapat Maliki dan Hambali: apabila barang yang dijual itu bukan berupa barang yang ditakar atau ditimbang, maka dihitung menjadi tanggung jawab si pembeli.
Apabila barang tersebut dirusak oleh orang lain, dalam hal ini Syafi’i mempunyai beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih: penjualan tidak batal, tetapi pembeli diberi hak untuk memilih antara memaksa orang yang merusak barang tersebut untuk membayar kepadanya atau membatalkan pembelian, lalu orang yang merusak itu dipaksa untuk membayar harga kepada penjual. Seperti itu juga pendapat Hanafi, Hambali, dan pendapat yang paling kuat dari madzab Maliki.
Apabila barang dirusak oleh penjual sendiri, jual beli menjadi batal, seperti barang yang terkena bencana alam. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Hambali berpendapat: jual beli tidak batal, tetapi penjual harus mengembalikan harganya, dan jika barang yang dirusak itu ada padanannya, hendaknya diberikan.
Apabila barang yang dijual itu berupa buah-buahan yang masih di pohonnya, lalu rusak setelah takhliyah [mengosongkan tempat yang dijual dari barang-barang si penjual dan menyerahkan hak penguasaan kepada pembeli dengan, misalnya, menyerahkan kunci], barang yang rusak itu menjadi tanggung jawab pembeli. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i yang paling shahih. Menurut Maliki: jika barang yang rusak itu kurang dari sepertiga, yang menanggung kerusakan adalah pembeli sendiri. Dan jika lebih dari itu yang menanggung adalah penjual. Sedangkan pendapat Hambali: jika rusaknya disebabkan oleh bencana alam, hal itu menjadi tanggung jawab penjual. Adapun jika dirampas atau dicuri orang, hal itu menjadi tanggung jawab pembeli.

Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[23]
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual beli.[24] Dengan adanya perantara maka pihak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik transaksi berbentuk jasa atau berbentuk barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.[25] Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang memerlukan jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya transaksi jual-beli dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut.
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi berpendapat makelar bagi orang luar daerah dibolehkan, karena dapat melancarkan keluar masuknya barang dari luar ke dalam daerah dengan perantaraan si makelar tersebut dengan demikian mereka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.[26]
Simsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain sebagai patrnernya sehingga pihak simsar tersebut mendapat komisi dari orang yang menjadi parnernya.[27]
Al-simsar (jamak dari al-simsarah) adalah perantara antara penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli, atau pedagang perantara yang bertindak sebagai penengah antara penjual dan pembeli, yang juga dikenal sebagai al-dallah. Al-simsar  dari bahasa arab, yang berarti juga tiga dalil yang baik, orang yang mahir. Pedagang sudah disebut al-samasirah pada masa sebelum Islam tetapi Rasul menyebut mereka al-tujjar. Pada masa sebelum Islam, perbedaan al-samsarah (perdagangan perantara) biasanya terjadi pada orang kota dan orang yang tinggal di gurun, hal ini dipraktekkan dalam semua aspek transaksi bisnis.[28]
Samsarah adalah kosakata bahasa Persia yang telah diadopsi menjadi bahasa Arab yang bearti sebuah profesi dalam menengahi dua kepentingan atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik berupa upah (ujroh) atau bonus, komisi (ji'alah) dalam menyelesaikan suatu transaksi. Adapun simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain sebagai penengah dengan kompensasi (upah atau bonus), baik untuk menjual maupun membeli.[29]
Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-mutall, telah menyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam figh dikenal dengan Samsarah, atau dalal sebagai sinonimnya, seraya menyatakan : "jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli, dikatakan ; dalalta dengan masdar yang difathahkan dal-nya, dalalat(an), dikasrahkan dal-nya, dilalat(an), di dhammahkan dal-nya, dulalat(an), jika anda menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang tersebut adalah simsar atau dallal (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual).[30]
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa samsarah (makelar) adalah penengah antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan pembeli untuk melancarkan sebuah transaksi dengan imbalan upah (ujroh), bonus atau komisi (ji'alah).  
Di masa sekarang banyak orang yang disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga ada sebagian orang tidak memiliki waktu untuk menjual barangnya atau mencari barang yang diperlukan. Sebagian orang lagi mempunyai waktu luang, mempunyai keahlian untuk memasarkan (menjualkan), namun tidak memiliki barang yang akan dijualkannya.
Untuk memudahkan kesulitan yang mereka hadapi, saat ini ada orang yang berprofesi khusus menangani hal-hal yang dikemukakan di atas, seperti biro jasa: di mana kedua belah pihak mendapat keuntungan (manfaat). Biro jasa  mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya, sedangkan orang yang memerlukan jasa mendapatkan kemudahan, karena sudah di tangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Dalam hal ini pihak biro jasalah yang bisa membantu dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh pemilik barang tersebut, selain pemilik barang dapat menyelesaikan masalahnya pihak biro jasa juga mendapat lowongan kerja sehingga pemilik barang dan biro jasa mendapat keuntungan.
Pekerjaan samsarah / simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.[31]
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).[32]
Ijarah secara sederhana diartikan dengan  transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda di sebut ijarat al-ain atau sewa–menyewa, seperti menyewa rumah untuk di tempati bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian. Keduanya disebut dengan satu istilah dalam literatur Arab yaitu ijarah.[33]
Pemilik yang menyewa manfaat disebut mu'ajjir (orang yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut musta'jir (orang yang menyewa–penyewa). Dan, sesuatu yang diakadkan untuk di ambil manfaatnya disebut ma'jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).
Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan mu'amalah yang telah disyari'atkan dalam Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Islam.
Kebolehan praktek ijarah berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur'an dan hadist Nabi SAW, Surat Ath-Thalaq : 6
ا سكنو هن حيث سكنتم من و جد كم ولا تضا روهن لتضيقوا عليهن ٌ وان كن ا ولت حمل فا نفقوا عليهن حتى يضعن حملهن ج  فا ن ا ر ضعن لكم فا تو هن ا جو ر هن وا تمروا بينكم بمعروف صلى  وا ن تعا سر تم فستر ضع له اخرى
Artinya :

"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."

Berdasarkan ayat di atas, maka menyewa seseorang untuk meyusukan anak adalah boleh, karena faedah yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat (jasa) dan yang lebih penting lagi adalah setelah perempuan memberikan manfaat bagi anak yang disusunya, jangan sampai tidak diberi upah, karena upah merupakan hak yang wajib ditunaikan setelah pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.
Persoalan upah mengupah untuk sama-sama mengambil manfaat dari suatu pekerjaan diperbolehkan, asalkan setelah pekerjaan selesai dilakukan kemudian orang yang mengupah membayar imbalan yang setimpal. Artinya kerja sama yang dilakukan dibolehkan selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Jadi pekerjaan samsarah dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa samsarah harus segera memberikan imbalan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. Karena hal-hal seperti itu sangatlah dibenci oleh Tuhan.  
            Surat Al-A'raf : 85
وا لى مد ين اخا هم ثعيبا قلى قا ل يقوم ا عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره صل قد جا ء تكم بينة من ربكم صل فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا تفسد وا فى الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم ان كنتم مومنين
Artinya:

"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".

Dan sesuai hadist Nabi :
ا عظو الا جير اجره قبل ا ن يجف عر قه10

Artinya:
" Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah pekerja   sebelum keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )
Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah menunda-nunda upah para pekerja, apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah mereka pada waktunya karena Allah paling benci bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini tidak benar, karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang dilakukan oleh pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah pekerja.

B.     Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa rukun yaitu :
1.      Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)
Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2.     Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)
Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3.      Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma'lum). [34]
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun hikmah adanya samsarah adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli atau menjual barang mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal penjualan dan pembelian barang dengan syarat mereka akan memberi upah atau komisi kepada makelar tersebut.             
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak mendapat upah (gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah sendiri maupun dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah membayar upah para pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja untuk perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah adalah untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak pemakai jasa harus memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau kezaliman dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka.

C.    Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah
Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih luas, termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk kerja sama dalam aqad samsarah itu ada dua,  yaitu bentuk kerja sama yang menjual barang dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak yang menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara atau upah para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta.  
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila barang yang nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang imbalanya dan ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah ditandatangani, maka semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji, sebagaimana firman Allah :
يا يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد ...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman  :
ج وا وفوا با لعهد كا ن مسولا ....

Artinya:
 ... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabanya ( Qs al- isra : 34 )

Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula yang hanya dengan lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat semata-mata. Hal itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri, sekiranya terjadi pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh, berdasarkan hadist Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani :
خرج علينارسول الله صلم علئ-  ونحن نسمى السماسرة - فقال: يامعشرالتجار: إن الشيطان والاشم يحضران البيع, فشو بوابيعكم بالصد قة.16
Artinya:
" Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu kami, para pedagang biasa di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).

Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak mengandung maksiat dan haram. 
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyatakan: “Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah 'ala samsarah tidak diperbolehkan.
Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang makelar adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari makelar atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah yaitu makelar menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya sebagai orang tengah.

C.    Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam praktek hal ini disebut courtage.[35] Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak timbul salah paham, begitu juga dengan imbalan jasa dan pembagian keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat), bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu 2,5 % dari nilai transaksi. Ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.
Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat, sesuai kaidah hukum Islam.                                                                                                             
  العا دة محكمة
       " Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."

Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang berselisih paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat sebuah perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang mereka lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan. Sebagai landasan hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :

أ لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما19
Artinya:
" Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama muslim itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di halalkan , seperti menjual minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka harus berpegang kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan barang rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung jawab dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko lain yang mungkin terjadi. 
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.[36]Sedangkan menurut pendapat lainnya, resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi. Dengan demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa. Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :
a)      Menurut Pasal 1237 KUHPerdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalain, kebendaan adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam-pakai.                 
b)      Menurut Pasal 1460 KHUPerdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian jual-beli.
c)      Menurut Pasal 1545 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d)     Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sewa-menyewa.[37]
Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya tidak di tuntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak.

D.    Pengertian Agen  
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil, perantara), suatu pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.[38]
Berdasarkan penjelasan di atas agen adalah orang yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli dengan persentase komisi dari total hasil penjualan. Persentase komisi tersebut telah disepakati oleh pihak agen dan pemilik barang,  apakah persentase dari total hasil penjualan atau komisi yang berbentuk lain.
Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah wakil tetap, baik yang ditunjuk ataupun tidak dari suatu perseroan dagang yang diberikan kuasa (penuh) untuk melakukan transaksi-transaksi atas nama perseroan yang diwakilinya.[39]
Maksud dari penjelasan di atas adalah wakil tetap yang ditunjuk maupun yang tidak ditunjuk langsung dari perusahaan, yang memberikan kuasa penuh untuk melakukan transaksi jual-beli atas nama perusahaan yang diwakilinya tersebut, dengan maksud transaksi yang mereka lakukan akan berjalan lancar seperti yang diinginkan pihak perusahaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agen adalah orang atau perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha, perwakilan, kaki tangan atau mata-mata negara asing, wakil pengusaha yang merundingkan, memberikan jasa layanan, atau menutup perjanjian asuransi dengan ketentuan yang ada...[40]

Menurut Abdul Rasyid Saliman jasa keagenan adalah usaha jasa perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak..[41]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa agen merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak dari suatu perseroan dagang untuk melakukan transaksi jual-beli dengan imbalan komisi sebesar persentase yang telah ditentukan dari total hasil penjualan yang mereka lakukan.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum, dimana pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dimiliki oleh agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal (pihak asing)..[42]
Dalam hal ini apabila agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan  pihak principal, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, apabila tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati  maka pihak principal akan bertanggung jawab.
Dalam perjanjian bisnis, agen dan principal biasanya membuat sebuah kontrak kerja tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut. Isi dari kontrak kerja diserahkan kepada para pihak asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan seperti yang tercantum dalam pasal 1388 KUHPerdata, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh seorang berutang kepada orang yang memberi utang, tak sah seseorang perutang melakukan perlawanan apabila si pemberi utang melakukan penyitaan karena itu hak si pemberi utang untuk memaksa dan menagihnya kembali.[43]

Adapun maksud dari Pasal 1388 adalah suatu ketika pihak prinsipal melakukan penyitaan atau pencabutan barang (tiket), maka pihak agen tidak boleh melakukan perlawanan karena hak prinsipal untuk melakukan penyitaan.
Adakalanya prinsipal dan agen membuat sebuah perjanjian sederhana yang memuat pokok-pokok saja seperti hak dan kewajiban para pihak, tetapi tidak sedikit dari mereka yang membuat perjanjian secara terperinci. Membuat perjanjian yang terperinci tidaklah mudah, tetapi perjanjian yang terperinci tersebut akan memper kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi perjanjian.[44] Intinya  perjanjian  terperinci memperkecil kemungkinan untuk salah paham antara kedua belah pihak sangat kecil dan mencegah timbulnya kecurangan yang akan merugikan salah satu pihak. 
Dalam praktek perjanjian yang diadakan kedua pihak ternyata terdapat 3 kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu :
1.      Dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.
Maksudnya adalah baik pihak principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa persetujuan dari pihak agen dan principal lainnya.
2.      Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak boleh.
3.      Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh persetujuan dari pihak prinsipal.[45]
Maksud dari variasi di atas adalah prinsipal tersebut boleh mengalihkan hak dan kewajibannya pada pihak lain, tetapi apabila agen yang ingin mengalihkannya maka harus meminta persetujuan dari pihak prinsipal, seandainya tidak ada persetujuan dari pihak prinsipal maka pihak agen tidak bisa mengalihkannya kepada pihak lain.
Biasanya dalam perjanjian kerja sama tersebut kedua belah pihak merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults) antara mereka untuk memutuskan perjanjian, yang dikategorikan events of defauls adalah :
a.    Apabila agen lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
b.  Apabila agen melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan
c.    Apabila para pihak jatuh pailit
d.   Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Pada intinya kerja sama dapat diputuskan dengan beberapa sebab atau masalah yang telah disebutkan di atas. Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian, maka mereka tetap harus memperhatikan ketentuan yang ada dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang menentu “pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. [46]
Dengan kata lain apabila seorang prinsipal ingin memutuskan hubungan kerja sama (perjanjian) dengan pihak agen, tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis. Tetapi principal  harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwewenang, setelah itu harus menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemutusan perjanjian keagenan.
Dalam praktiknya, para pihak seringkali menghindari prosedur tersebut, dan mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Dengan alasan mereka dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Dalam praktek perdagangan dijumpai apa yang dikenal dengan nama agen perdangangan, yaitu seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahaan lain, umumnya perusahaan luar negeri dan biasanya mereka mempunyai hubungan tetap.
Hubungan ini dapat berupa :
1.      Perusahaan membeli barang-barang itu untuk perhitungannya sendiri dengan mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya kembali.
2.      Prusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang itu.
3.      Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk menemui pembelinya dan mengusahakan suatu penawaran pembelian. [47]
Maksud hubungan tetap disini adalah hubungan kerja sama antara pihak agen dengan perusahaan yang memproduksikan barang-barang tersebut, pihak agen menjadi wakil dari perusahaan (principal) dan mereka mendapatkan komisi (upah). Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang Perlindungan Upah, pasal 1 Nomor 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa :
a.       Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.
b.          Pengusaha ialah :
1.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan miliknya.
3.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan termasuk pada orang 1 dan 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.[48]

Maksud dari pasal tersebut adalah dimana para pengusaha wajib membayar upah para buruh atas pekerjaan yang telah mereka lakukan atau pekerjaan yang akan mereka lakukan. Upah tersebut berbentuk uang dimana persentasenya di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak atau menurut peraturan undang-undang
Selanjutnya Undang-Undang Perlindungan Upah, pasal 12 Nomor 8 Tahun 1981 menjelaskan :
1.       Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
2.      Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.[49]
Dari penjelasan di atas, upah dapat berbentuk uang dan dapat juga diberikan dalam bentuk lain seperti sembako, adapun waktu pembayaran harus tepat tidak boleh menunda-nundanya.
Adapun hubungan hukum antara agen dengan principal merupakan hubungan yang dibangun melalui mekanisme layanan lepas jual, disini hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.[50]
Maksud dari penjelasan di atas adalah hubungan hukum antara agen dan principal adalah hubungan yang dibangun melalui mekanisme lepas jual. Maksudnya pihak agen membeli produk (tiket) di perusahaan penerbangan, disini hak milik atas tiket yang dijual oleh agen tidak menjadi milik perusahaan penerbangan, melainkan hak milik agen karena prinsipnya agen telah membeli di perusahaan penerbangan.
E.     Relevansi antara Konsep Samsarah dan Konsep Agen dalam Hukum Perdata
Pada prinsipnya konsep samsarah dan konsep agen adalah sama-sama sebagai perantara, di mana mereka sama-sama sebagai penengah antara penjual dan pembeli. Bedanya antara samsarah dan agen yaitu pada nama tetapi maksudnya satu yaitu perantara. Pada masa sebelum Islam perdangangan perantara disebut dengan al-samsarah tetapi Rasul menyebut mereka al-tujjar, pada jaman sudah moderen ini mereka sudah lebih akrap dengan kata-kata agen.[51]
Relevansi antara konsep samsarah dan konsep agen adalah perantara pada masa Rasul (samsarah) hanya berfungsi menjualkan barang milik orang lain dengan diberi upah, upah pada masa itu tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya, yaitu 2,5 % dari nilai transaksi, ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli, keadaan seperti ini disebut dengan adat-istiadat. Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang ditentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Sedangkan perantara pada masa sekarang (agen) adalah mereka menggunakan sistem deposit atau dalam istilah hubungan hukum keagenan yang bearti mekanisme layanan lepas jual, artinya pihak agen harus membeli tiket terlebih dahulu ke pihak perusahaan penerbangan setelah itu barulah pihak agen bisa menjualkan kembali kekonsumen. Dalam hubungan hukum keagenan telah disebutkan bahwa hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena pada prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.[52]
Tetapi pada kenyataan sekarang ini tidaklah seperti itu, pihak agen travel telah membeli tiket ke perusahaan penerbangan tetapi pihak agen tidak bisa memegang secara penuh atas hak tiket tersebut. Harga dan komisi ditetapkan oleh perusahaan penerbangan, komisi yang diberikan oleh perusahaan penerbangan pada saat ini adalah sebesar persentase dari total hasil penjualan.
 Makelar yang terpecaya tidak dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak disengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak. Sedangkan agen adalah suatu pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.[53]
Dalam hubungan kerja sama antara pihak agen dan perusahaan penerbangan, apabila pihak agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan oleh perusahaan penerbangan, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab atau menanggung resiko atas tindakan-tindakan mereka. Apabila tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati maka pihak perusahaan penerbangan akan bertanggung jawab.
Dalam konsep samsarah tidak ada yang namanya jaminan, karena bentuk kerja sama yang mereka lakukan adalah bentuk kerja sama perantara, dimana pihak samsarah hanya berkewajiban menjualkan barang milik pedagang bukan menanam modal sehingga tidak dibutuhkan sebuah jaminan. 
Dari uraian-uraian di atas bisa disimpulkan bahwa konsep samsarah pada masa Rasul dengan konsep agen sekarang sudah banyak yang berubah, yaitu konsep samsarah pada masa rasul mereka hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan diberikan upah. Sedangkan konsep agen sekarang menggunakan sistem deposit atau dalam hukum keagenan disebut dengan mekanisme lepas jual yang artinya pihak agen harus membeli terlebih dahulu tiket setelah itu barulah dijual ke konsumen.
Pada masa Rasul mereka tidak mengenal kontrak kerja, maka dari itu mereka tidak membuat kontrak kerja dan mereka berprinsip kepada saling percaya dan yakin. Sedangkan sekarang sudah mempunyai ilmu pengetahuan, maka dari itu mengapa tidak membuat kontrak kerja baik yang tertulis atau lisan sehingga tidak akan menyebabkan perselisihan paham di kemudian hari. Pada jaman yang moderen inipun kontrak kerja tidak hanya bisa dengan lisan, tetapi harus dengan tulisan yang mempunyai saksi, sehingga jika suatu saat terjadi pailit atau salah paham maka kedua belah pihak mempunyai bukti yang hitam di atas putih.  
Berdagang secara simsar diperbolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lain.[54]

Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan dalam islam, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Dari Anas RA, Rasul SAW menjual sebuah pelana dan sebuah mangkuk air, dengan berkata : ‘Siapa yang mau membeli pelana dan mangkuk air ini?’ seorang lelaki menyahut: ‘Aku bersedia membelinya seharga satu dirham’ lalu nabi berkata lagi : ‘Siapa yang berani menambahi?’ maka dibeli dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi.”[55]
A.    Pengertian Lelang (Muzayadah)
Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang pada awalnya  membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi mendapatkan barang  yang dilelangkan.
Lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham di bursa efek di mana penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi kesepakatan.[56]
Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.[57]
Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik riba meskipun ia dinamakan bai’ muzayyadah dari kata ziyadah yang bermakna tambahan sebagaimana makna riba, namun pengertian tambahan di sini berbeda. Dalam muzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih dalam akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan oleh pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam praktik riba tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak diperjanjikan dimuka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya.
Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama; Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua; Bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.[58]
B.     Hukum Lelang(muzayadah) menurut fiqih
Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.[59] Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang Mengatakan makruh hukmnya.[60]
a.       Pendapat Ulama Madzhab yang membolehkan Jual Beli Dengan Sistem Lelang
Jual beli model lelang (muzayyadah) dalam hukum Islam adalah boleh mubah. Di dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdi Dar berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan di antara semua pihak.
Menurut Ibnu Qudamah Ibnu Abdi Dar meriwayatkan adanya ijma’ kesepakatan ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli.[61]
Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan juga Imam Ahmad.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.[62]
Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun praktek jual beli yang lain, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagaigaris petunjuk diantaranya.
1.      Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (’an taradlin).
2.      Objek lelang atau barang yang diperjual belikan harus halal dan bermanfaat.
3.      Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual.
4.      Kejelasan dan transparansi barang atau jasa yang dilelang atau yang diperjual belikan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya.
5.      Kesanggupan penyerahan barang dari penjual kepada Pembeli.
6.      Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
7.      Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk menangkan lelang dan tawar-menawar harga.
b.       Pendapat ulama madzhab yang melarang jual beli dengan sistem lelang
Salah satu ulama dari kalangan mahdab hanafi, sebenarnya ada sebagian kecil ulama yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i mengatakan bahwa hukum jual beli secara lelang hukumnya makruh secara mutlak.
Sedangkan Hasan Al Basri, Ibnu Sirin dan ulama yang lain berpendapat bahwa jual-beli secara lelang hukumnya makruh terkecuali terhadap 2 masalah, yaitu masalah qhonimah (harta rampasan perang) dan waris. Qhonimah bisa berupa barang selain uang, sehingga agar barang tersebut berwujud uang agar bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan untuk di lelang. Sebagai contoh misalnya terdapat harta rampasan perang berupa senjata. Maka agar senjata tersebut bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan dijual dengan cara lelang. Termasuk juga harta warisan. Umumnya harta warisan tidak selalu berbentuk uang tunai (misal tanah, rumah, kendaraan dll), sehingga untuk memudahkan pembagian warisan diperbolehkan untuk di lelang. Para ulama tersebut mengkategorikan lelang hukumnya makruh karena terdapat hadist :
Pertama, hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang jual beli secara lelang.
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
Artinya:“Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar)”. Imam Ibnu Hajjar didalam kitabnya menyatakan bahwa hadist tersebut dhoif maka hadist tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum. Sehingga para ulama tersebut menyatakan hukum lelang adalah makruh dan tidak sampai mengharamkannya.
Kedua, bahwa Rasulullah melarang seseorang membeli barang yang sudah ditawar oleh saudaranya atau orang lain (sama halnya ketika Rasulullah melarang mengkhitbah wanita yang sedang di khitbah oleh orang lain/saudaranya).“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.[63]
Lelang juga tidak diperkenankan jika terdapat kecurangan atau penipuan (Misalnya dalam proses lelang terdapat persekongkolan 2 sampai 3 orang atau lebih yang bersepakat menawar sebuah barang).[64]
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya.[65]

Untuk itu, menurut jumhur ulama memakruhkan jual beli dengan proses lelang, karena bisa mengandung unsur-unsur atau trik-trik penipuan dan persekongkolan untuk memanipulasi barang dagangan.[66]

Apabila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon, rumah, dan lainnya, menurut madzhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di dalanya turut terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan benih serta tanamannya, kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, maka penjualan itu batal karena tidak jelas, apakah hanya tanah atau dengan tanaman dan biji-bijian.
Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
1.      Batu yang ada di dalamnya;
2.      Barang – barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Adapun menjual sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya adalah:
1.      Pohon-pohonannya;
2.      Bangunan-bangunnya yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak;
3.      Pekarangan yang melingkari;
4.      Tanahnya.
Bila menjual rumah, di dalamnya ialah :
1. Tanah tempat mendirikan;
2. Apa yang ada dalam pekarangannya.
Bila menjual seekor binatang, maka yang termasuk di dalamnya adalah:
1. Sandal/Sepatunya;
2. Pelananya.
Bila yang dijual itu pohon-pohon yang sedang berbuah, buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan agar buahnya untuk dia.[67]






Jual beli adalah pertukaran barang dengan barang antara penjual dan pembeli atas dasar saling  ridla satu sama lain. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat  275:
الرِّبَا وَحَرَّمَ اللَّهُ الْبَيْعَ وَأَحَلَّ
  "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Rukun jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari: Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidani), Adanya uang (harga) dan barang (ma’qud alaih), Adanya akad.
Syarat-syarat yang sah antara lain yaitu: Para pihak (penjual dan pembeli) berakal, Atas kehendak sendiri, Bukan pemboros (mubazir), Suci barangnya, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad, dapat diserahkan, dapat diketahui barangnya, barang yang ditransaksikan ada di tangan, Ijab Qabul.
Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a.       Jual beli yang sah
b.      Jual beli yang batal
c.       Jual beli yang fasid
Apabila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya.
Badan perantara (simsar) yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahawa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya.
Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan dalam islam.
Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual
     
Segala kajian tentang muamalah telah dikaji oleh para ulama agar kaum muslimin mengetahui dan menerapkannya. Sebagai generasi selanjutnya, alangkah baiknya jika kita mengetahui bahkan menguasai tentang segala bentuk kajian muamalah dalam Islam dan menerapkannya dalam kehidupan kita ditengah-tengah kondisi muamalah kita yang mayoritas masih didominasi oleh sistem-sistem sosialis dan kapitalis.





A. Karim, Adiwarman. 2008, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, Cet. II
Abu Bakar, Muhammad Najtullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, alih bahasa Anas Siddiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), At-Tirmizi, al Jami’ as-Sahih, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), III:125. Hadis dari Abu Sa’id al-Khudhri
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu  (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 347
Bakri, Nazar . Problematika Pelaksanaan Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994).
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Fikri,  Ali. al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah (Kairo: Matba’ah al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu, 1938), I: 12.
Djamil, R. Abdul. Hukum Islam: Asas-asas Hukum Islam, cet. ke-1 (Bandung: Mandar Maju, 1992),
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000),
Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah (Mesir: Isa al-Baabi al-Halabi wa Syarakauhu, t.t.), VI: 755. Hadis dari Muhammad bin Basyar dari Wahab bin Jarir.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 4. Hadis dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah.
Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqh, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13
Suhendi, Hendi. 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers.
Suheri, Fikih Muamalah Islam,  http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/(diakses pada
Tanggal 28 April)
Otomo, Setiawan Budi, Hukum lelang dan Tender,
http://ekisopini.blogspot.com/2009/08/hukum-lelang-dan-tender.html  (diakses pada tanggal 28 April)
Sarwat, Ahmad, Lelang dalam tinjauan Syariat,
http://kajiankantor.com/blog/2010/04/20/lelang-dalam-tinjauan-syariat/  (diakses pada tanggal 28 April)
Hanniah, Rafiqatul, Lelang dalam pandangan Islam, http://rafiqatul-
hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html (diakses pada tanggal 28 April)
http://dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html (diakses pada tanggal 29 April)
Ma’ruf, farid, Jual Beli Lelang, http://faridmaruf.wordpress.com/2007/02/13/jual-beli-lelang/  (diakses pada tanggal 29 April)







[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, h. 124
[2] http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002--al-baqarah/564-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-275.html
[3] Adiwarman A. Karim, 2008, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, Cet. II, hal. 87
[4] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 124.
[5] M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqh, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 34.
[6] Adiwarman A. Karim, Fikih Muamalah, hal. 88.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu  (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 347
[8] R. Abdul Djamil, Hukum Islam: Asas-asas Hukum Islam, cet. ke-1 (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 141-142
[9] An-Nisa (4): 29
[10] An-Nisa (4): 5
[11] As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III: 129
[12] At-Tirmizi, al Jami’ as-Sahih, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), III:125. Hadis dari Abu Sa’id al-Khudhri.
[13] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian, hlm. 37-40.
[14] An-Nisa (4): 29.
[15] Muhammad Najtullah Abu Bakar, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, alih bahasa Anas Siddiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 56.
[16] Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Buyu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 4. Hadis dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah.
[17] Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah (Mesir: Isa al-Baabi al-Halabi wa Syarakauhu, t.t.), VI: 755. Hadis dari Muhammad bin Basyar dari Wahab bin Jarir.
[18] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000), hlm. 120-125.
[19] Nazar Bakri, Problematika Pelaksanaan Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) hlm. 62.
[20] Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al Buyu’, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992) II: 4 Hadis dari Abu Bakar Ibnu Abi Saibah.
[21] Ali Fikri,  al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah (Kairo: Matba’ah al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu, 1938), I: 12.
[22] Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers. Hal.83-84
[23] Ibid. hal. 84-85[25]M. Ali, Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (figh muamalat), ed. 1., cet.2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 289
[24] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12, Bandung: PT Al-Ma'rif, 1996, hlm. 15
[25] Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup Dalam Perekonomian, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.hlm. 269
[26] Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Terj. Mu'alam Hamidy), Surabaya : Bina Ilmu, 1993
[27] Sayyid  Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terj. Kamaluddin A.Marzuki), Jilid 13, Bandung: Al-Ma'rif, 1997, hlm. 159.
[28] Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm. 96-97
[29] Abdullah Abdulkarim, Broker/Pemakelaran (samsaroh) dalam Islam, http://ocessss.blogspot.com/2009/07/07/ brokerpemakelaran-samsarah-dalam-islam-html.
[30] Ibid, 2009/07/07
[31] Agustianto, Multi Level Marketing dalam Perspektif Fiqih Islam, http://m.ekonomiislam. webnode.com/news/multi-level-marketing-dalam-perspektif-fiqih-islam/
[32] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al- fikri Arab, 1998, hlm.27.
[33] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh, Bogor: PT. Prenada Media, 2003, hlm. 215
[34] Abdullah Abdulkarim, Op. cit.,  2009/07/07
[35] Achmad Ichsan, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hlm. 33
[36] Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. I. ed.rev Jakarta: Djambatan, 2005, hlm.144
[37] Op.Cit. hlm, 148
[38] Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta , 1994, hal. 12
[39] Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi lengkap Semarang, CV. Aneka, hal. 48-49
[40] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, ed.3, cet.2 Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm.12
[41] Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus, ed.2, cet.2 Jakarta: Kencana , 2006, hlm.68
[42] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam, cet.2 Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003, hlm.53
[43] Benoe Satryo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenaga Kerjaan, ed.11, Yogyakarta, Andi Offset, 2003, hlm.158
[44] Ibid., hlm. 53.
[45] Ibid.,  hlm. 55
[46] Ibid.,  hlm. 55
[47] Achmad Ichsan, Hukum Dagang, lembaga Perserikatan, Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, cet.5 Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hlm.45
[48] Benoe Satriyo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan, ed.II Yogyakarta, Andi Offset,2003, hlm. 158
[49] Ibid., , hlm. 161
[50] Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, teori & contoh kasus, ed.II, cet.II Jakarta,Kencana, 2006, hlm. 68
[51] Abdullah dan Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm, 96-97.
[52] Op. Cit.,  hlm.68
[53] Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994), hlm, 12
[54] Ibid. hal. 85-86
[55] Ibid. Hal 86-87
[56] Rafiqatul, hanniah, Lelang dalam pandangan Islam,http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
[57] Suheri, loc. cit
[58] http://dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html
[59] Farid, Ma’ruf, Jual Beli Lelang,http://faridmaruf.wordpress.com/2007/02/13/jual-beli-lelang/
[60] Rafiqatul, hanniah, loc. cit
[61] dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html, loc.cit
[62] Rafiqatul, hanniah, loc. cit
[63] dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html, Loc. cit
[64] Dr. Ahmad, Sarwat LC, Loc. cit
[65] Rafiqatul, hanniah, Loc. cit
[66] Dr. Ahmad, Sarwat LC, Loc. ci
[67] Ibid. Hal. 87-88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar